Like this ?

Selasa, 10 Juli 2012

Makalah Resum Farmakologi semester 2


BAB I
PENDAHULUAN

1.1            Latar Belakang
          Farmakolgi  adalah  ilmu yg mempelajari sejarah, asal usul obat, sifat fisik dan kimiawi, cara mencampur dan  membuat obat, efek terhadap fungsi biokimiawi dan faal, cara kerja, absornsi, distribusi, biotransformasi dan ekskresi, penggunaan dalam klinik dan efek toksiknya.
            Farmakologi bermafaat bagi pentingnya mewujudkan perawat yang professional.

1.2   Rumusan Masalah
·         Konsep Dasar Farmakologi ?
·         Konsep Farmakodinamik ?
·         Konsep Farmakokinetik ?
·         Konsep Penggolongan Obat ?
·         Dosis Pemberian Obat ?
·         Bahaya Pemberian Obat ?
·         Peran Kolaboratif perawat dan  prinsip pemberian obat ?

1.3     Tujuan Makalah
         
           Dalam pembuatan makalah ini penulis berharap semoga makalah ini dapat               memberikan  pengetahuan bagi Mahasiswa-mahasiswi DIII keperawatan tentang                                     Etika Keperawatan




BAB II
PEMBAHASAN

2.1         Konsep Dasar Farmakologi  
            Jaman dahulu obat yang dipergunakan berasal dari tanaman (akar-akaran/ daun tumbuh-tumbuhan) u/ mengobati penyakit. Pengetahuan ini secara turun temurun disimpan dan dikembangkan sehingga menjadi ilmu pengobatan rakyat (jamu/obat tradisonal).
Permulaan abad ke-20 obat-obatan kimia sintetik mulai nampak kemajuan dengan ditemukannya obat-obatan kemoterapik seperti sulfonilamid (1935) dan penisilin (1940).
Definisi obat :
Adalah zat baik kimiawi, hewani maupun nabati, yg dalam dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit atau gejala-gejalanya.
3 Macam Jenis Obat
  1. Obat farmakodinamika : adalah obat yg bekerja terhadap tuan rumah dengan jalan mempercepat / memperlambat proses fisiologis a/ fungsi2 biokimia di dalam tubuh.
            Ex : vitamin, hormon
2.      Obat kemoterapeutika : adalah obat yg membunuh kuman a/ parasit di dalam tubuh tuan rumah.
            Ex : antibiotik, obat cacing
3.       Obat diagnostik : adalah obat pembantu u/ melakukan diagnosis (pengenalan penyakit)
            Ex : test mantoux u/ test TBC, barium sulfat u/ melihat saluran lambung usus pada waktu rontgent.
Cara Pemberian obat :
1. Lokal : yang memberikan pengaruh setempat.
·         Topikal (pada kulit), ex : salep, krim, lotion, spray (anastesy).
·         Supositoria (pada anus/vagina), ex : untuk wasir.
           
2. Sistemik : yg memberikan pengaruh pada seluruh sistem tubuh.
·         Melalui saluran pernapasan (inhalasi), ex : eter (inhalasi), inhaler (u/ flu).
·         Melalui oral keseluruh pencernaan, ex : tablet, syrup, kapsul.
·         Melalui membran mukosa / selaput lendir (bawah lidah / sublingual, suppositoria)
·         Melalui kulit (implantasi subkutan), ex: obat-obat KB (mengandung hormon)
·         Melalui injeksi (parenteral), yaitu secara :
a.       Subkutan (hipodermal) : injeksi di bawah kulit
b.      Intra muskuler : injeksi di dalam otot, umumnya di daerah gluteus magnus.
c.       Intra vena :  injeksi kedalam pembuluh darah
d.      Intra cutan (dalam kulit)


2.2     Konsep Farmakodinamika
1.  Mekanisme kerja obat
            Adalah akibat langsung dari penggabungan molekul obat (O) dengan suatu reseptor (R). Bila reseptor itu suatu enzim maka hasilnya dapat enzim berupa penghambatan ataupun perangsangan enzim tersebut.
Setelah terbentuk kompleks obat – reseptor  (OR), kemungkinan besar akan            terjadi reaksi rantai lebih lanjut, tetapi yg terlihat a/ dapat di observasi adalah             timbulnya perubahan fungsi organ tertentu. Perubahan yg dapat dilihat kita sebut         efek obat.
2.  Reseptor Obat
            Ialah makromolekul di dalam tubuh yg bergabung dengan obat & secara kimiawi dapat dikenali oleh obat. Penggabungan ini merupakan reaksi permulaan dalam suatu rangkaian reaksi yg pada akhirnya menimbulkan efek terhadap obat. Reseptor obat pada umumnya merupakan molekul enzim atau komponen fungsional dari sel. Reseptor obat dapat terletak pada membran sel, di dalam sel, atau ekstra sel.

3. Transmisi sinyal obat
            Transmisi sinyal obat (efek obat) pada umunya terlihat sebagai perubahan intensitas faal organ tertentu atau reaksi biokimianya. Karena efek obat adalah hal yg dapat diobservasi, maka dapat digolongkan sesuai dengan efeknya. Ex : analgesik-antipiretik, hipoglikemik, obat hipertensi, dsb.
4.   Interaksi Obat - Reseptor
2 Jenis interaksi obat obat-reseptor, yaitu :
1.      Obat dapat bergabung dengan reseptor & memulai aksi obat disebut agonist. Obat ini berikatan dengan molekul khusus (suatu rerseptor) pada dinding sel, perubahan kecil pada strukturnya akan mengubah efek obat.
                        Ex : narkotika analgetik
2.      Obat tidak terikat pada reseptor di dinding sel tetapi masuk ke dinding sel, & ini bergantung pada kelarutannya dalam lemak & kemampuannya menembus didnding sel. Perubahan struktur molekul tidak mengubah sifat fisiknya & tidak akan mengubah farmakologinya. Obat ini disebut antagonist.
                        Ex : Obat anastesi.
5.   Antagonisme Farmakodinamika
            Berdasarkan Teori Laju dari Paton, menyatakan bahwa :
Ø  Bila obat diberikan dengan reseptor maka akan dihasilkan sejumlah tertentu respon. Reseptor tersebut kemudian menjadi tidak aktif selama masih dalam bentuk kompleks reseptor obat.
Ø  Besarnya respon / efek hanya bergantung pada laju pengikatan obat pada reseptor. Antagonist kuat dalam laju pengikatan reseptor tetapi tidak melepaskan reseptor.
6.   Kerja Obat yang Tidak di Perantarai Reseptor
            Ex : Antasida, Anthelmintika, laksatif, obat-obat diagnostik

2.3     Konsep Farmakokinetik
ABSORBSI
            Obat akan masuk ke dalam badan bila penggunaan obat secara enternal atau parenteral atau inhalasi dan topikal
Proses absorbsi terjadi bila obat melintasi satu membran sel.
Absorbsi dipengaruhi dari sifat fisikakimia membran             
MEMBRAN SEL
Membran sel terdiri dari 3 elemen :
  1. Membran plasma
  2. Retikulum endoplasma
  3. Membran inti
Membran plasma tersusun oleh :
  1. Protein
  2. Lipid
  3. Karbohidrat
Faktor – faktor yang mempengaruhi absorbsi obat :
·         Kelarutan obat
·         Kemampuan obat difusi melintasi membran sel
·         Kadar obat
·         Sirkulasi darah pada tempat absorbsi
·         Luas permukaan kontak obat
·         Bentuk sediaan obat
·         Rute penggunaan obat

Obat adalah bahan atau panduan bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi (Undang-Undang Kesehatan No. 23 tahun 1992) obat dapat didefinisikan sebagai bahan yang menyebabkan perubahan dalam fungsi biologis melalui proses kimia. Sedangkan definisi yang lengkap, obat adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan (1) pengobatan, peredaan, pencegahan atau diagnosa suatu penyakit, kelainan fisik atau gejala-gejalanya pada manusia atau hewan; atau (2) dalam pemulihan, perbaikan atau pengubahan fungsi organik pada manusia atau hewan. Obat dapat merupakan bahan yang disintesis di dalam tubuh (misalnya : hormon, vitamin D) atau merupakan merupakan bahan-bahan kimia yang tidak disintesis di dalam tubuh.


2.4     Konsep Penggolongan Obat
            Penggolongan sederhana dapat diketahui dari definisi yang lengkap di atas yaitu obat untuk manusia dan obat untuk hewan. Selain itu ada beberapa penggolongan obat yang lain, dimana penggolongan obat itu dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi.
Obat dapat dibagi menjadi 4 golongan yaitu :
Obat Bebas            
            Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Parasetamol Ini merupakan tanda obat yang paling "aman" . Obat-obatan dengan tanda lingkaran hijau mengindikasikan bahwa obat ini dapat dibeli bebas di pasaran. Yang termasuk dalam golongan ini antara lain, vitamin, oralit, pedialit dan sebagainya. Obat bebas, yaitu obat yang bisa dibeli bebas di apotek, bahkan di warung, tanpa resep dokter, ditandai dengan lingkaran hijau bergaris tepi hitam. Obat bebas ini digunakan untuk mengobati gejala penyakit yang ringan. Misalnya : vitamin/multi vitamin (Livron B Plex, )
Obat Bebas Terbatas
   Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual
atau dibeli bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus pada
kemasan dan etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam.
Contoh : CTM
Lingkaran biru yang terdapat dalam kemasan obat mengindikasikan bahwa obat ini dijual bebas
terbatas. Maksudnya, meski bisa dibeli tanpa resep dokter, tapi aturan pakai dan efek
sampingnya harus menjadi perhatian. Penggunaannya pun harus sesuai dengan indikasi
yang tertulis pada kemasannya. Yang termasuk dalam golongan lingkaran biru antara lain
obat batuk dan obat demam. Obat bebas terbatas (dulu disebut daftar W). yakni obat-obatan yang dalam jumlah tertentu masih bisa dibeli di apotek, tanpa resep dokter, memakai tanda lingkaran biru bergaris tepi hitam. Contohnya, obat anti mabuk (Antimo), anti flu (Noza). Pada kemasan obat seperti ini biasanya tertera peringatan yang bertanda kotak kecil berdasar warna gelap atau kotak putih bergaris tepi hitam, dengan tulisan sebagai berikut :
P.No. 1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya.
P.No. 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.
P.No. 3: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.
P.No. 4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.
P.No. 5: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan
Memang, dalam keadaaan dan batas-batas tertentu; sakit yang ringan masih dibenarkan untuk melakukan pengobatan sendiri, yang tentunya juga obat yang dipergunakan adalah golongan obat bebas dan bebas terbatas yang dengan mudah diperoleh masyarakat. Namun apabila kondisi penyakit semakin serius sebaiknya memeriksakan ke dokter. Dianjurkan untuk tidak sekali-kalipun melakukan uji coba obat sendiri terhadap obat - obat yang seharusnya diperoleh dengan mempergunakan resep dokter.Apabila menggunakan obat-obatan yang dengan mudah diperoleh tanpa menggunakan resep dokter atau yang dikenal dengan Golongan Obat Bebas dan Golongan Obat Bebas Terbatas, selain meyakini bahwa obat tersebut telah memiliki izin beredar dengan pencantuman nomor registrasi dari Badan Pengawas Obat dan Makanan atau Departemen Kesehatan, terdapat hal- hal yang perlu diperhatikan, diantaranya: Kondisi obat apakah masih baik atau sudak rusak, Perhatikan tanggal kadaluarsa (masa berlaku) obat, membaca dan mengikuti keterangan atau informasi yang tercantum pada kemasan obat atau pada brosur  selebaran yang menyertai obat yang berisi tentang Indikasi (merupakan petunjuk kegunaan obat dalam pengobatan), kontra-indikasi (yaitu petunjuk penggunaan obat yang tidak diperbolehkan), efek samping (yaitu efek yang timbul, yang bukan efek yang diinginkan), dosis obat (takaran pemakaian obat), cara penyimpanan obat, dan informasi tentang interaksi obat dengan obat lain
yang digunakan dan dengan makanan yang dimakan

Obat Keras dan Psikotropika
            Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Asam Mefenamat
Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku. Contoh : Diazepam, Phenobarbital
Lingkaran merah menunjukkan bahwa obat tersebut termasuk golongan obat keras yang harus diresepkan dokter. Yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik, obat-obat hormonal dan sebagainya.
Psikotropika adalah Zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir, perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya.
Jenis –jenis yang termasuk psikotropika:
a. Ecstasy
b. Sabu-sabu
Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter,memakai tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya. Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin, penisilin, dan sebagainya), serta obat-obatan yang mengandung hormon (obat kencing manis, obat penenang, dan lain-lain) .Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau menyebabkan mematikan.
Obat Narkotika      

            Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan. Contoh : Morfin, Petidin
Sebelum menggunakan obat, termasuk obat bebas dan bebas terbatas harus diketahui sifat dan cara pemakaiannya agar penggunaannya tepat dan aman. Informasi tersebut dapat diperbolehkan dari etiket atau brosur pada kemasan obat bebas dan bebas terbatasInformasi Kemasan, Etiket dan BrosurSebelum menggunakan obat, bacalah sifat dan cara pemakaiannya pada etiket, brosur atau kemasan obat agar penggunaannya tepat dan aman.
Pengaruh tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat , halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan yang menyebabkan efek ketergantungan bagi pemakainya.
Macam-macam narkotika:
a.    Opiod (Opiat)
     Bahan-bahan opioida yang sering disalahgunakan :
• Morfin
• Heroin (putaw)
• Codein
• Demerol (pethidina)
• Methadone
b. Kokain
c. Cannabis (ganja)
    Pada setiap brosur atau kemasan obat selalu dicantumkan:
• Nama obat
• Komposisi
• Indikasi
• Informasi cara kerja obat
• Aturan pakai
• Peringatan (khusus untuk obat bebas terbatas)
• Perhatian
• Nama produsen
• Nomor batch/lot
• Nomor registrasi
Nomor registrasi dicantumkan sebagai tanda ijin edar absah yang diberikan oleh pemerintah pada setiap kemasan obat.
2.5     Dosis Pemberian Obat
Dosis Pemberian Obat untuk bayi dan anak-anak.
            Memilih serta menetapkan dosis bayi dan anak memang tidaklah mudah, banyak faktor yang harus diperhatikan. Diantaranya adalah keadaan pasien, kasus sakit, jenis obat, toleransi tubuh dan lainnya. Respon tubuh bayi dan anak terhadap obat tentulah tidak sama dengan respon orang dewasa. Berbagai mekanisme metabolik yang terdapat pada bayi, terutama bayi prematur dan bayi baru lahir memang belum dikembangkan dengan sempurna. Hal ini juga menyebabkan biotransformasi terhadap obat menjadi terganggu, sehingga obat akan berakumulasi ke arah konsentrasi letalnya dalam darah, keadaan ini jarang terjadi pada orang dewasa. Respon tubuh bayi terhadap obat dalam usia beberapa minggu yang pertama dalam kehidupannya akan jauh berbeda dibandingkan respon tubuh anak yang berumur 1 tahun. Begitu pula respon tubuh anak berumur 1  tahun akan berbeda dengan orang dewasa.
Ada kalanya dosis obat dinyatakan dalam mg/kg BB, pernyataan dosis seperti ini sebetulnya lebih baik, karena dosis akan berlaku untuk semua pasien, mulai bayi, anak hingga orang dewasa.
Namun pada kenyataannya, dosis obat yang tercantum umumnya hanya untuk orang dewasa, sehingga jika dikenendaki dosis bayi dan anak dihitung berdasarkan dosis dewasanya. Perhitungan dosis bayi dan anak terhadap dosis dewasa dapat dilakukan berdasasrkan usia, bobot badan, atau luas permukaan badan. Saat ini perhitungan dosis bayi dan anak berdasarkan usia orang dewasa sudah jarang dilakukan. Yang saat ini banyak dipakai adalah perhitungan dosis anak terhadap orang dewasa berdasarkan pada luas permukaan badan seberarnya, perhitungan inilah yang dianggap paling baik saat ini, karena perhitungan luas permukaan telah memperthitungkan bobot badan dan tinggi tubuh.


2.6     Bahaya Pemberian/penggunaan Obat
           
Efek samping
            Efek samping merupakan reaksi obat yang merugikan dan terjadi ketika obat diberikan dalam kisaran dosis terapeutik yang normal. Kebanyakan obat memiliki efek samping yang potensial. Efek samping ini dapat dikelompokkan di bawah judul berikut:
• Berhubungan dengan kerja utama obat       
• Tidak berhubungan dengan kerja utama obat:        
1. Berhubungan dengan kerja tambahan        
2. Respons hipersensitivitas   
3. Kerusakan sel

Efek samping yang berhubungan dengan kerja utama obat

Efek samping ini kerapkali merupakan efek samping obat yang utama. Intensitasnya biasanya berhubungan dengan takaran pemberian. Karena efek samping tersebut kerapkali sangat signifikan dan dapat diramalkan sepenuhnya, sistem pemantauan efek samping yang tepat harus dilaksanakan.Sebagai contoh, tanpa pengecekan yang adekuat, preparat antikoagulan dapat menimbulkan perdarahan dan insulin dapat menyebabkan hipoglikemia. Pada sejumlah obat lainnya, kaitan antara kerja obat dan efek sampingnya tidak begitu jelas sehingga diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang fisiologinya. Sebagai contoh, metoklopramid dan proklorperazin (Stemetil®) merupakan preparat antagonis dopamin.
Keduanya merupakan preparat anti-emetik yang berguna karena menyekat kerja eksitasi dopamin pada pusat muntah. Akan tetapi, preparat tersebut juga menyekat kerja dopamin yang dapat menimbulkan efek samping di daerah otak yang mengendalikan postur dan gerakan tubuh (ganglia basalis). Bagi banyak obat, seperti metoklopramid, tipe efek samping yang bisa diramalkan ini membatasi takaran yang dapat diberikan.
 Efek-efek Yang Tidak Diinginkan Dalam Penggunaan Obat
Penggunaan atau perpanjangan penggunaan obat dapat menghasilkan efek-efek yang kurang disukai atau tidak diinginkan, seperti:       
1. Reaksi hipersensitif atau reaksi alergi,
respons abnormal terhadap obat.
2. Kumulasi, terkumpulnya obat dalam tubuh sebagai hasil pengulangan penggunaan obat yang diabsorpsi lebih cepat, daripada ekskresinya dan dapat menimbulkan efek toksik.
3. Toleransi, berkurangnya respons terhadap obat dengan dosis yang sama sehingga dosis obat tersebut harus diperbesar untuk mendapatkan efek terapi yang sama.
Ada tiga macam toleransi, yaitu:       
(a) Toleransi bawaan (primer).           
(b) Toleransi dapatan (sekunder). Habituasi atau kebiasaan adalah suatu gejala ketergantungan psikologis terhadap suatu obat dengan ciri-ciri, di antaranya ingin selalu menggunakan obat, cenderung menaikkan dosis (kecil), timbul ketergantungan psikis, dan muncul efek yang merugikan individu. Habituasi dapat terjadi dengan melalui induksi enzim yang dapat menguraikan obat, terbentuknya
reseptor-reseptor sekunder, dan terjadinya penghambatan resorpsi.          
(c) Toleransi silang. Timbul karena obat-obat memiliki struk¬tur kimia yang serupa atau merupakan derivatnya.Misalnya, fenobarbital dan butobarbital.
4. Takifilaksis, berkurangnya kecepatan respons terhadap aksi obat pada pengulangan pemberian dalam dosis yang sama.
5. Adiksi, ketergantungan rohaniah dan jasmaniah terhadap obat-obat dengan karakteristik sebagai berikut.        
(a) Adanya dorongan untuk selalu menggunakan obat.        
(b) Kecenderungan menaikkan dosis (besar).
(c) Timbul ketergantungan rohaniah diikuti badaniahnya.    
(d) Merugikan masyarakat maupun individu.
(e) Penghentian obat dapat menimbulkan abstinensi.Narkotik dapat menimbulkan adiksi/ketagihan yang lebih berat atau lebih besar daripada efek euforia (rasa nyaman yang kuat, kecemasan hilang), sedangkan amfetamin menimbulkan toleransi dan adiksi yang lebih ringan daripada narkotik.Penggunaan obat campuran atau beberapa obat secara bersamaan dapat menimbulkan hal-hal berikut.  
1. Efek adisi, efek penjumlahan dari efek masing-masing obat.        
2. Efek sinergis, efek kombinasi yang sama dengan jumlah dari kegiatan kedua zat (adisi) atau melebihi jumlah tersebut (potensiasi).  
3. Efek potensiasi, timbulnya efek yang lebih besar daripada jumlah efek kedua obat.
4. Efek
antagonis, yaitu efek yang berlawanan, misalnya striknin dan barbital.
5. Interaksi obat, yang akan menyebabkan modifikasi efek obat-obat tersebut. Misalnya, ion Al, Fe, Mg, dan Ca menghambat absorpsi tetrasiklin; alkohol akan memperkuat efek obat lain; serta furosemid akan menaikkan efek digitalis.
      Ketika kita menggunakan suatu obat, tentunya yang kita harapkan adalah kesembuhan. Sembuh dari penyakit baik penyakit infeksi ataupun yang bukan penyakit infeksi. Efek menyembuhkan yang diharapkan dari obat ini disebut dengan efek terapi atau efek utama dari obat. Pertanyaannya adalah apakah obat hanya memiliki efek terapi ? Jawabannya tentu tidak. Kita sering mendengar bahwa banyak masyarakat yang takut untuk menggunakan obat kimia karena memiliki efek samping. Efek samping ini juga merupakan efek lain yang bisa ditimbulkan oleh obat. Efek obat bisa kita jelaskan sebagai berikut :
  • Efek terapi/ efek utama Efek ini adalah efek yang diharapkan dari suatu obat. Misalnya paracetamol dengan dosis 500 mg dapat menurunkan panas tubuh orang dewasa atau pada dosis yang lebih kecil untuk anak-anak. Glibenklamid memberikan efek terapi menurunkan kadar gula pada penderita diabetes. Satu obat bisa memiliki beberapa khasiat/ efek terapi. Misalnya parasetamol disamping menurunkan panas badan, juga berefek meredakan rasa nyeri seperti sakit kepala atau gigi. Amlodipin bisa digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi dan angina.
  • Efek toksik Toksik berarti racun. Berefek toksik artinya obat bisa menyebabkan keracunan. Dalam dunia farmasi dan kedokteran, beda antara obat dan racun ada pada dosis. Jika obat digunakan pada dosis yang melebihi dosis terapinya, obat tersebut akan berefek sebagai racun. Obat bisa menyebabkan keracunan pada berbagai anggota tubuh terutama anggota tubuh yang banyak dilewati oleh aliran darah. Contonya adalah ginjal ( oleh obat cefalexin, cisplatin, gentamisin ); hati ( contoh obat parasetamol, isoniazid, clorpromazin ); paru-paru ( cth obat amiodaron, bleomisin ); system reproduksi ( cth obat kanker bisa menimbulkan fertilitas pada pria ); dan lain-lain.
  • Efek samping Kalau efek toksik terjadi pada dosis tinggi, maka efek samping biasanya terjadi pada dosis terapi. Tingkat kejadian efek samping ini sangat bervariasi antara satu obat dengan obat lainnya. Efek samping ini juga tidak dialami oleh semua orang karena masing-masing orang memiliki kepekaan dan kemampuan untuk mengatasi efek ini secara berbeda-beda. Efek samping suatu obat bisa lebih banyak dibandingkan efek terapinya. Contohnya adalah amlodipin ( obat tekanan darah tingg ). Efek samping yang umum terjadi adalah jantung berdebar ( sampai 4,5% ), nyeri perut ( 1.6% ), mual ( 2.9% ), sakit kepala ( 7.3% ), lemas ( 4.5% ), dan lain-lain. Persentase dalam tanda kurung menunjukkan jumlah kejadian. Tidak selamanya efek samping ini merugikan. Pada kondisi tertentu efek ini bisa dimanfaatkan. Misalnya efek mengantuk akibat obat antihistamin bermanfaat pada anak yang sedang batuk flue agar bisa beristirahat dengan baik. Efek samping ini bisa diperkirakan, tetapi ada juga yang tidak seperti reaksi alergi. Ada beberapa kejadian dimana orang melepuh tubuhnya setelah menggunakan obat. Ini adalah salah satu contoh efek yang tidak bisa diprediksi atau diperkirakan.
       Sebagai pengguna obat. Kita sebaiknya memahami berbagai efek yang bisa ditimbulkan oleh obat yang sedang kita gunakan. Baik efek terapi, efek toksik dan juga efek sampingnya. Pemahaman ini sangat diperlukan agar kita bisa lebih waspada terhadap segala kemungkinan yang bisa terjadi. Informasi ini bisa diperoleh dari dokter, apoteker atau sumber-sumber lainnya.

Efek Samping Kerja Tambahan Obat
Efek samping yang berhubungan dengan kerja tambahan. Banyak obat bekerja pada lebih dari satu tipe reseptor sel; sebagai konsekuensinya dapat terjadi efek samping yang beragam. Sekali lagi, efek samping ini dapat diramalkan, dan bidan harus memantau atau mengingatkan ibu hamil tentang pelbagai efek samping tersebut secara tepat. Sebagai contoh, oksitosin bekerja pada reseptor oksitosik dalam uterus dan juga pada reseptor anti-diuretik (ADH) dalam nefron ginjal.
Sifat ini berpotensi untuk memicu retensi air dan sekaligus overloading cairan. Dengan demikian, bidan harus memonitor keseimbangan cairan. Demikian pula, proklorperazin juga bekerja pada reseptor muskarinik di samping pada reseptor dopamin.
Dengan menyekat kerja reseptor muskarinik, proklorperazin menyebabkan pula pengeringan sekresi tubuh seperti saliva. Karena itu, bidan harus memberi tahu efek samping yang mungkin terjadi kepada ibu hamil yang memakai preparat tersebut dan menganjurkannya untuk banyak minum air.
Pada kehamilan, kerja-tambahan obat pada uterus membawa makna yang sangat penting. Setiap obat yang menstimulasi kontraktilitas uterus harus dihindari; obat-obat ini meliputi preparat laksatif stimulan, misoprostol dan semua obat yang secara kimia ada kaitannya dengan ergotamin.
Kelompok obat yang terakhir ini mencakup obat-obat yang diresepkan untuk migrain seperti sumatriptan, dan dengan demikian kelompok obat tersebut merupakan kontraindikasi pada kehamilan serta laktasi (Pfaffenrath & Rehm, 1998). Obat-obat ini sering diresepkan atas dasar ‘jika diperlukan’ dan disimpan serta digunakan bila terjadi serangan migrain;
ibu hamil harus berhati-hati untuk tidak menggunakan obat-obat tersebut secara terus-menerus selama kehamilannya.

Kerja Dan Efek Samping Obat

Umumnya kerja dan efek samping obat tidak dipengaruhi oleh cara pemberian. Akan tetapi, awitan efek yang merugikan dapat jauh lebih cepat bila obat tersebut disuntikkan intravena sehingga diperlukan tindakan penjagaan ekstra. Sebagai contoh ilustratif akan dikemukakan ampisilin dan diazepam.
Ampisilin
      Penyuntikan ampisilin intravena menimbulkan beberapa masalah yang
potensial yang tidak dijumpai pada pemberian per oral (Gahart, 1992):
• Dalam cairan infus, ampisilin tidak dapat bercampur dengan banyak obat yang lain,misalnya gentamisin.          
• Kerja ampisilin dapat menghilang jika terkena tetrasiklin atau eritromisin.
• Potensiasi heparin dapat terjadi bila preparat ini terkena ampisilin.            
• Serangan kejang dapat terjadi jika penyuntikan ampisilin dilakukan terlalu cepat, khususnya pada neonatus dan pasien gangguan ginjal.          
• Reaksi hipersensitivitas yang terjadi cenderung sangat parah. Pasien yang mendapatkan preparat penyekat-beta (mis. labetolol) berisiko untuk mengalami reaksi hipersensitivitas.
Diazepam
Penyuntikan diazepam intravena sangat penting untuk mengendalikan serangan kejang. Akan tetapi, tindakan ini dapat menyebabkan beberapa masalah yang biasanya tidak terlihat pada pemberian per oral:
• Depresi pernapasan dapat terjadi pada individu yang rentan. Karena itu, dukungan respirasi harus sudah disediakan dahulu untuk digunakan dalam keadaan emerjensi.
• Diazepam tidak dapat diencerkan atau dicampur dengan obat lain atau
cairan infus.
• Diazepam cenderung mengendap pada selang infus dan dengan demikian obat ini sedapat mungkin disuntikkan langsung ke dalam pembuluh vena.
• Diazepam bersifat iritan sehingga penyuntikan pada pembuluh vena yang kecil hams dihindari; kebocoran pada penyuntikan diazepam merupakan keadaan yang berbahaya. Terdapat risiko tromboflebitis yang tinggi.
• Preparat sedatif lain (mis. petidin) dapat menimbulkan potensiasi; karena itu, dukungan. respirasi harus sudah tersedia. Tirah baring harus dipertahankan selama tiga jam sesudah penyuntikan.
• Setelah pemberian dengan dosis tinggi, gejala putus obat (seperti ansietas, insomnia, fotofobia, tinitus dan mual) dapat berlangsung selama beberapa minggu.

Masalah Dan Kejadian Efek Samping Obat
Setiap obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena seperti halnya efek farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik tubuh. Kalau suatu efek farmakologik terjadi secara ekstrim, ini pun akan menimbulkan pengaruh buruk terhadap sistem biologik tubuh. Pengertian efek samping dalam pembahasan ini adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang merugikan atau membahayakan pasien (adverse reactions) dari suatu pengobatan. Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi dapat ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko yang sebagian besar sudah diketahui.

Beberapa contoh efek samping misalnya:

Reaksi alergi akut karena penisilin (reaksi imunologik), hipoglikemia berat karena pemberian insulin (efek farmakologik yang berlebihan), osteoporosis karena pengobatan kortikosteroid jangka lama (efek samping karena penggunaan jangka lama) hipertensi karena penghentian pemberian klonidin (gejala penghentian obat - withdrawal syndrome). fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan talidomid pada masa awal kehamilan (efek teratogenik), dan sebagainya.

Masalah efek samping obat dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya:
a)      Kegagalan pengobatan, Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat (drug-induced disease atau iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh pasien.
b)      Pembiayaan yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit atau timbulnya penyakit yang baru tadi (dampak ekonomik).
c)      Efek psikologik terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih lanjut misalnya menurunnya kepatuhan berobat. Angka kejadian yang dilaporkan cukup beragam.
Pembagian Efek Samping Obat
Efek samping obat dapat dikelompokkan/diklasifikasi dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada/tidaknya hubungan dengan dosis, berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi efek samping yang terjadi, dsb. Namun mungkin pembagian yang paling praktis dan paling mudah diingat dalam melakukan pengobatan.
 Jenis-jenis efek samping obat.

Efek samping yang dapat diperkirakan:
aksi farmakologik yang berlebihan respons karena penghentian obat efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama reaksi alergi reaksi karena faktor genetik, reaksi idiosinkratik.
 Efek farmakologik yang berlebihan
Terjadinya efek farmakologik yang berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat disebabkan karena dosis relatif yang terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan. Keadaan ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya perbedaan respons kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu, misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung, perubahan sirkulasi darah, usia, genetik dsb., sehingga dosis yang diberikan dalam takaran lazim, menjadi relatif terlalu besar pada
pasien-pasien tertentu (lihat modul Pemakaian obat pada kelompok khusus: anak, usia lanjut, kehamilan, dan modul Farmakokinetika klinik dan dasar-dasar pengaturan dosis obat dalam klinik). Selain itu efek ini juga bisa terjadi karena interaksi farmakokinetik maupun farmakodinamik antar obat yang diberikan bersamaan, sehingga efek obat menjadi lebih besar. Efek samping jenis ini umumnya dijumpai pada pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat, obat-obat pemacu jantung, antihipertensi dan hipoglikemika/antidiabetika.

Beberapa contoh spesifik dari jenis efek samping ini misalnya:
ü  Depresi respirasi pada pasien-pasien bronkitis berat yang menerima pengobatan dengan morfin atau benzodiazepin.
ü  Hipotensi yang terjadi pada stroke, infark miokard atau kegagalan ginjal pada pasien yang menerima obat antihipertensi dalam dosis terlalu tinggi.
ü  Bradikardia pada pasien-pasien yang menerima digoksin dalam dosis terlalu tinggi.
ü  Palpitasi pada pasien asma karena dosis teofilin yang terlalu tinggi.
ü  Hipoglikemia karena dosis antidiabetika terlalu tinggi.
ü  Perdarahan yang terjadi pada pasien yang sedang menerima pengobatan dengan warfarin, karena secara bersamaan juga minum aspirin.
Semua pasien mempunyai risiko untuk mendapatkan efek samping karena dosis yang terlalu tinggi ini, dan upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan perhatian khusus terhadap kelompok-kelompok pasien dengan risiko tinggi tadi (penurunan fungsi ginjal, penurunan fungsi hepar, bayi dan usia lanjut). Selain itu riwayat pasien dalam pengobatan yang mengarah ke kejadian efek samping juga perlu diperhatikan.

Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik utama

Efek-efek samping yang berbeda dari efek farmakologik utamanya, untuk sebagian besar obat umumnya telah dapat diperkirakan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah dilakukan secara sistematik sebelum obat mulai digunakan untuk pasien. Efek-efek ini umumnya dalam derajad ringan namun angka kejadiannya bisa cukup tinggi. Sedangkan efek samping yang lebih jarang dapat diperoleh dari laporan-laporan setelah obat dipakai dalam populasi yang lebih luas. Data efek samping berbagai obat dapat ditemukan dalam buku-buku standard, umumnya lengkap dengan perkiraan angka kejadiannya. Sebagai contoh misalnya:
1.      Iritasi lambung yang menyebabkan keluhan pedih, mual dan muntah pada obat-obat kortikosteroid oral, analgetika-antipiretika, teofilin, eritromisin, rifampisin, dll.
2.      Rasa ngantuk (drowsiness) setelah pemakaian antihistaminika untuk anti mabok perjalanan (motion sickness).
3.      Kenaikan enzim-enzim transferase hepar karena pemberian rifampisin.
4.      Efek teratogenik obat-obat tertentu sehingga obat tersebut tidak boleh diberikan pada wanita hamil.
5.      Penghambatan agregasi trombosit oleh aspirin, sehingga memperpanjang waktu pendarahan.
6.      Ototoksisitas karena kinin/kinidin, dsb.

Dikenal 4 macam mekanisme terjadinya efek obat pada alergi, yakni:

Tipe I. Reaksi anafilaksis: yaitu terjadinya interaksi antara antibodi IgE pada sel mast dan leukosit basofil dengan obat atau metabolit, menyebabkan pelepasan mediator yang menyebabkan reaksi alergi, misalnya histamin, kinin, 5-hidroksi triptamin, dll. Manifestasi efek samping bisa berupa urtikaria, rinitis, asma bronkial, angio-edema dan syok anafilaktik. Syok anafilaktik ini merupakan efek samping yang paling ditakuti. Obat-obat yang sering menyebabkan adalah penisilin, streptomisin, anestetika lokal, media kontras yang mengandung jodium.
Tipe II. Reaksi sitotoksik: yaitu interaksi antara antibodi IgG, IgM atau IgA dalam sirkulasi dengan obat,membentuk kompleks yang akan menyebabkan lisis sel, Contohnya adalah trombositopenia karena kuinidin/kinin, digitoksin, dan rifampisin, anemia hemolitik karena pemberian penisilin, sefalosporin, rifampisin, kuinin dan kuinidin, dll.
Tipe III. Reaksi imun-kompleks: yaitu interaksi antara antibodi IgG dengan antigen dalam sirkulasi, kemudian kompleks yang terbentuk melekat pada jaringan dan menyebabkan kerusakan endotelium kapiler. Manifestasinya berupa keluhan demam, artritis, pembesaran limfonodi, urtikaria, dan ruam makulopapular. Reaksi ini dikenal dengan istilah "serum sickness", karena umumnya muncul setelah penyuntikan dengan serum asing (misalnya anti-tetanus serum).
Tipe IV. Reaksi dengan media sel: yaitu sensitisasi limposit T oleh kompleks antigen-hapten-protein, yang kemudian baru menimbulkan reaksi setelah kontak dengan suatu antigen, menyebabkan reaksi inflamasi. Contohnya adalah dermatitis kontak yang disebabkan salep anestetika lokal, salep antihistamin, antibiotik dan antifungi topikal.

Bahaya Penggunaan Obat

Toleransi Obat
Toleransi obat adalah suatu peristiwa di mana dosisi obat harus dinaikkan terus-menerus untuk mencapai efek terapeutinya yang sama. Macam-macam toleransi obat, yaitu:
a)    Toleransi primer (bawaan)
b)   Toleransi sekunder (timbul setelah menggunakan obat selama waktu tertentu).
c)    Toleransi silang (terjadi antara zat-zat yang mempunyai struktur kimia serupa).
Contoh dari toleransi obat: barbiturate (obat bius tidur) yaitu obat yang bertindak sebagai depresan sistem saraf pusat, dan karena itu dapat menghasilkan spektrum yang luas dari efek, dari sedasi ringan sampai anestesi total. Mereka juga efektif sebagai anxiolytics, sebagai hipnotik, dan sebagai antikonvulsan. Barbiturat juga memiliki efek analgesik, namun efek yang agak lemah, mencegah barbiturat dari yang digunakan dalam operasi dengan tidak adanya analgesik lainnya. Mereka memiliki potensi kecanduan, baik fisik dan psikologis. Barbiturat kini sebagian besar telah digantikan oleh benzodiazepin dalam praktek medis rutin - misalnya, dalam pengobatan kecemasan dan insomnia - terutama karena benzodiazepin secara signifikan kurang berbahaya di overdosis. Namun, barbiturat masih digunakan dalam anestesi umum, untuk epilepsi, dan bunuh diri.
Habituasi
Habituasi atau ketagihan adalah kejadian pemakaian obat secara menahun yang disebabkan gangguan emosi bila pemberian obat dihentikan. Contohnya merokok (nikotin) dan minum kopi (kafein).
a.    Tembakau mengandung 0,2-5% nikotin. Pada rokok tembakau, nikotin terkandung dalam partikel kecil tar. Nikotin sangat cepat diserap melalui bronkus dan alveolus paru-paru, dan sudah dapat dideteksi dari otak hanya dalam 8 detik setelah hirupan pertama. Merokok sebatang rokok diperkirakan kadar nikotin dalam darah antar 25-50ng/ml. Pada kadar ini nikotin berefek menstimulasi ganglion saraf.
b.    Kafein adalah diuretik, dapat memperburuk masalah ginjal atau kandung kemih. Untuk itu minum air putih sebanyak mungkin bagi pecandu kopi. Jika tidak, berhati-hatilah, ganti cairan yang hilang dengan air murni. Mungkin efek sakit terburuk dari minum kopi berlebihan adalah masalah kelenjar adrenal. Ketika kita minum kopi, kelenjar adrenal dirangsang untuk menghasilkan adrenalin. Ini merupakan bagian dari perlawanan sindrom yang menyebabkan iritabilitas, terutama karena juga menghambat serotonin penenangan. Jika kopi dikonsumsi secara berlebihan, terlalu sering dan terlalu lama, seseorang bisa mengalami Kelelahan adrenal, penyakit yang tampaknya diakui oleh pengobatan holistik saja. Kelelahan adrenal menurunkan produksi kortisol, sehingga sangat sulit untuk mengatasi stres.
Adiksi
Adiksi adalah adanya ketergantungan jasmani dan bila pengobatab dihentikan menimbulkan efek yang hebat, dengan karakteristik sebagai berikut:
a)    Adanya dorongan untuk selalu menggunakan obat.
b)   Kecenderungan menaikkan dosis dalam jumlah yang besar.
c)    Timbul ketergantungan rohaniah diikuti badaniahnya.
d)   Merugikan masyarakat maupun individu.
e)    Penghentian obat dapat menimbulkan abstinensi.
Contoh dari adiksi dalam bahaya penggunaan obat yaitu morfin adalah alkaloid analgesik yang sangat kuat dan merupakan agen aktif utama yang ditemukan pada opium. Morfina bekerja langsung pada sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit. Efek samping morfina antara lain adalah penurunan kesadaran, euforia, rasa kantuk, lesu, dan penglihatan kabur. Morfina juga mengurangi rasa lapar, merangsang batuk, dan meyebabkan konstipasi. Morfina menimbulkan ketergantungan tinggi dibandingkan zat-zat lainnya. Pasien ketergantungan morfina juga dilaporkan menderita insomnia dan mimpi buruk.

Resistensi Bakteri
Antibiotik pertama, penisilin, ditemukan oleh Alexander Flemming pada tahun 1927. Kemudian, pada tahun 1939, Edward Chain dan Howard Florey melakukan studi terkait penemuan Alexander Flemming yaitu penggunaan penisilin pada manusia dalam mengatasi infeksi akibat mikroba khususnya bakteri. Hasil yang diperoleh mengacu terhadap keefektifan penisilin dalam mengatasi penyakit infeksi akibat mikroba. Seiring dengan perjalanan waktu, antibiotik bekerja dengan sempurna dalam mengatasi penyakit infeksi hingga muncul pendeklarasian oleh bagian bedah US pada tahun 1969, “It’s time to close the book on infectious disease (Inilah waktunya untuk tutup buku terhadap penyakit infeksi)”.   
Pada tahun 1941, semua strain (jenis) bakteri Staphylococcus (penyebab umum luka dan infeksi pascaoperasi) peka terhadap penisilin. Namun, tiga tahun kemudian, strain ini tidak lagi peka terhadap penisilin atau dengan kata lain resistensi terhadap penisilin. Hingga saat ini, khususnya di rumah sakit, tidak hanya strain bakteri Staphylococcus yang diketahui mengalami resistensi terhadap antibiotik namun juga termasuk salah satunya adalah Pseudomonas, Enterococcus, dan Mycobacterium tuberculosis.       

Resistensi bakteri terhadap antibiotik adalah kemampuan alamiah bakteri untuk mempertahankan diri terhadap efek antibiotik. Antibiotik menjadi kurang efektif dalam mengontrol atau menghentikan pertumbuhan bakteri. Bakteri yang menjadi target operasi antibiotik beradaptasi secara alami untuk menjadi “resisten” dan tetap melanjutkan pertumbuhan demi kelangsungan hidup meski dengan kehadiran antibiotik.   
Secara garis besar resistensi bakteri terhadap antibiotik melalui tiga mekanisme :
1.      Terjadi mutasi pada porin (lubang-lubang kecil) yang terdapat pada dinding luar bakteri. Porin ini merupakan suatu jalur bagi antibiotik untuk masuk dan secara efektif menghentikan pertumbuhan bakteri. Akibat mutasi yang terjadi pada porin, antibiotik tidak lagi dapat mencapai tempat kerjanya di dalam sel bakteri.
2.      Adanya inaktivasi antibiotik. Mekanisme ini mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap antibiotik golongan aminoglikosida dan beta laktam karena bakteri mampu membuat enzim yang merusak kedua golongan antibiotik tersebut.
3.      Terjadi pengubahan tempat ikatan antibiotik oleh bakteri sehingga antibiotik tidak mampu lagi untuk berikatan dengan bakteri sebagai upaya menghentikan pertumbuhan bakteri tersebut.
            Terdapat dua hal mendasar terkait dengan terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik yaitu kemampuan bakteri untuk berevolusi membentuk pertahanan diri terhadap antibiotik secara cepat dan kontribusi manusia dalam membantu bakteri tersebut untuk berevolusi lebih cepat. Kontribusi manusia menjadi faktor risiko penting dalam resistensi bakteri yaitu penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat terkait dengan penggunaan antibiotik yang irrasional. Konteks irrasional bermakna luas. Pertama, penggunaan antibiotik yang sering dalam pengobatan sehingga dapat mengurangi keefektifan dari antibiotik tersebut. Kedua, penggunaan antibiotik yang berlebihan. Beberapa contoh antibiotik yang relatif cepat kehilangan efektivitasnya setelah dipasarkan karena masalah resistensi adalah ciprofloxacin dan cotrimoxazole. Banyak dokter yang secara irrasional meresepkan antibiotik terhadap pasien bahkan ketika pasien itu sama sekali tidak membutuhkan antibiotik, misalnya saat terserang infeksi virus. Ketiga, penggunaan antibiotik dalam jangka waktu lama sehingga memberi kesempatan untuk tumbuhnya bakteri yang lebih resisten (first step mutant).      
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat serta irrasional menjadi masalah utama dalam resistensi bakteri terhadap antibiotik. Penyebab dari hal tersebut adalah peresepan antibiotik yang salah dengan dosis yang tidak tepat untuk infeksi tertentu. Selain itu, terdapatnya beberapa kalangan medis yang meresepkan antibiotik berspektrum luas untuk membunuh bakteri yang menyebabkan infeksi sehingga bakteri target lebih tahan terhadap antibiotik tersebut yang tidak spesifik untuk dirinya. Permasalahan utama lain terkait penggunaan antibiotik yang tidak tepat adalah tersedianya antibiotik secara bebas di pasaran bahkan tanpa resep dokter. Penggunaan antibiotik yang tidak dipahami pasien juga dapat menjadi salah satu penyebab resistensi bakteri. Sebagian besar pasien yang mendapatkan terapi antibiotik sering menghentikan pengobatan saat dirinya merasa secara subjektif lebih baik dari sebelumnya atau anggapan bahwa dirinya telah sembuh padahal dokter telah memberi dosis antibiotik yang sesuai untuk dikonsumsi hingga bakteri yang menjadi penyebab infeksi dapat dibasmi secara tuntas. Hal ini mengakibatkan bakteri yang ada pada tubuh pasien tersebut tidak secara tuntas dibasmi dan timbul pertahanan diri yang baru terhadap antibiotik yang sama yang akan menyerang kelak.     
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat telah disadari sebagai sebuah kontribusi utama pada resistensi bakteri. Hal penting yang harus digarisbawahi dalam hal ini adalah adanya strategi kontrol terhadap penggunaan antibiotik dalam meningkatkan efektivitasnya terhadap penghambatan atau pembunuhan bakteri sehingga resistensi bakteri terhadap antibiotik pun dapat diatasi.

2.7     Peran Kolaboratif perawat dan prinsip pemberian Obat

Pemberian Obat Subkutan
Pemberian obat subkutan adalah pemberian obat melalui suntikan ke bawah kulit yang dapat dilakukan pada daerah lengan atas sebelah luar atau 1/3 bagian dari bahu, paha sebelah luar, daerah dada, dan daerah sekitar umbilikus (abdomen). Pemberian obat memalui subkutan ini pada umumnya dilakukan dalam program pemberian insulin yang digunakan untuk mengontrol kadar gula darah. Dalam pemberian insulin terdapat  dua tipe larutan, yaitu larutan yang jernih dan larutan yang keruh. Larutan jernih adalah insulin tipe reaksi cepat (insulin reguler) dan larutan keruh adalah tipe lambat karena adanya penambahan protein yang memperlambat absorpsi obat.
Alat dan Bahan:
·   Daftar buku obat/catatan, jadwal pemberian obat
·   Obat dalam tempatnya
·   Spuit insulin
·   Kapas alkohol dalam tepatnya
·   Cairan pelarut
·   Bak injeksi
·   Bengkok
·   Perlak dan alasnya
Prosedur Kerja
1.    Cuci tangan.
2.    Jelaskan prosedur yang akan dilakukan.
3.    Bebaskan daerah yang akan dilakukan suntikan atau bebaskan suntikan dari pakaian. Apabila menggunakan baju maka buka atau lipat ke atas.
4.    Ambil obat dalam tempatnya sesuai dengan dosis yang akan diberikan, setelah itu tempatkan pada bak injeksi.
5.    Desinfeksi dengan kapas alkohol.
6.    Tegangkan dengan tangan kiri (daerah yang akan dilakukan suntikan subkutan).
7.    Lakukan penusukan dengan lubang menghadap ke atas dengan sudut 45pada permukaan kulit.
8.    Lakukan aspirasi, bila tidak ada darah semprotkan obat perlahan-lahan hingga habis.
9.    Tarik spuit dan tahan dengan kapas alkohol. Masukan spuit yang telah terpakai ke dalam bengkok.
10.                        Catat reaksi pemberian, tanggal, waktu pemberian, dan jenis/ dosis obat.
11.                        Cuci tangan.

Pemberian Obat Intra Cutan (IC)
      Merupakan pemberian obat melalui suntikan ke dalam jaringan kulit dan biasanya digunakan untuk mengetahui sensitivitas tubuh terhadap obat yang disuntikan, yang dilakukan pada lengan bawah bagian dalam atau di tempat lain yang dianggap perlu.
Tujuan:
1.      Melaksanakan uji coba obat tertentu, misalnya skin test, penicillin.
2.      Memberi obat tertentu yang pemberiannya hanya dapat dilakukan dengan cara suntik intrakutan.
3.      Membantu menetukan diagnosis penyakit tertentu, misalnya tuberculin test.
4.      Mendapatkan kekebalan pada imunisasi BCG.
Indikasi: dilakukan pada pasien yang akan mendapatkan suntikan kekebalan atau menetukan reaksi dari obat dan juga bisa dilakukan pada pasien yang tidak sadar, tidak mau bekerjasama karena tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral.
Kontra Indikasi: luka berbulu, alergi, dan infeksi kulit.

Tempat Injeksi:
1.      Lengan bawah bagian dalam.
2.      Lengan atas.
3.      Dada bagian atas.
4.      Punggung di bawah skapula.
Persiapan Alat:
1.      Catatan pemberian obat.
2.      Spuit 1 ml dengan ukuran 25, 26, atau 27, panjang jarum 1/4-5/8 inci.
3.      Sarung tangan bersih.
4.      Kapas alkohol.
5.      Obat sesusai dengan yang diperlukan.
6.      Cairan pelarut (aquades,NaCl).
7.      Bak spuit.
8.      Baki obat.
9.      Bengkok.
10.  Perlak dan pengalas.
Prosedur Kerja:
1.      Siapkan obat (dengan prinsip 6 benar) dan peralatan yang akan digunakan.
2.      Memberitahu dan menjelaskan tujuan  kepada klien.
3.      Mendekatkan alat ke dekat klien.
4.      Cuci tangan.
5.      Jaga privasi klien.
6.      Atur posisi pasien.
7.      Pasang perlak dan pengalas pada daerah yang akan dilakukan injeksi.
8.      Bebaskan daerah yang akan dilakukan injeksi dari pakaian.
9.      Memakai sarung tangan.
10.  Hisap obat ke dalam spuit.
11.  Tentukan tempat penyuntikan dengan benar.
12.  Desinfeksi area yang akan dilakukan penyuntikan dengan kapas alkohol area penusuka secara melingkar ( sirkular ) dari dalam keluar, tunggu sampai kering.
13.  Masukkan obat  / lakukan penyuntikan.
14.  Letakkan spuit ke dalam bengkok.
15.  Merapikan klien dan peralatan.
16.  Cuci tangan.
17.  Dokumentasikan prosedur pemberian obat atau tes alergi.

a. Pemberian obat topikal pada kulit
Pemberian obat secara topikal adalah memberikan obat secara lokal pada kulit.
Tujuan pemberian obat secara topikal pada kulit adalah untuk memperoleh reaksi lokal dari obat tersebut.
 
b. Pemberian obat mata
Pemberian obat melalui mata adalah memberi obat ke dalam mata berupa cairan dan salep.
Tujuan
Untuk mengobati gangguan pada mata
untuk mendilatasi pupil pada pemeriksaan struktur internal mata
Untuk melemahkan otot lensa mata pada pengukuran refraksi mata
Untuk mencegah kekeringan pada mata
c. Pemberian obat tetes telinga
memberikan obat pada telinga melalui kanal eksternal,dalam bentuk cair.
Tujuan
-Untuk memberikan efek terapi lokal
-Menghilangkan nyeri
-Untuk melunakkan serumen agar mudah untuk di ambil
d. Pemberian obat tetes hidung
Memberikan obat tetes melalui hidung
Tujuan
-untuk mengencerkan sekresi dan memfasilitasi drainase dari hidung
-Mengobati infeksi dari rongga hidung dan sinus



BAB III

PENUTUP

3.1            Simpulan

               Dalam menjalankan  tugas, perawat harus menyadari akan pentingnya                     farmakologi dalam menjalankan tugasnya sebagai perawat profesional. Sehingga           baik buruk dari efek obat bisa diketahui maupun dipahami.

3.2            Saran
            Penulis  menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu penulis meminta agar pembaca berkenan memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan dimasa mendatang.

                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Komentar

☺ Thanks, udah berkunjung ☺