BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Farmakolgi adalah ilmu yg mempelajari sejarah, asal usul obat,
sifat fisik dan kimiawi, cara mencampur dan membuat obat, efek terhadap fungsi biokimiawi
dan faal, cara kerja, absornsi, distribusi, biotransformasi dan ekskresi,
penggunaan dalam klinik dan efek toksiknya.
Farmakologi
bermafaat bagi pentingnya mewujudkan perawat yang professional.
1.2 Rumusan
Masalah
·
Konsep Dasar
Farmakologi ?
·
Konsep
Farmakodinamik ?
·
Konsep
Farmakokinetik ?
·
Konsep
Penggolongan Obat ?
·
Dosis
Pemberian Obat ?
·
Bahaya
Pemberian Obat ?
·
Peran
Kolaboratif perawat dan prinsip
pemberian obat ?
1.3 Tujuan
Makalah
Dalam pembuatan makalah ini penulis berharap
semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan bagi Mahasiswa-mahasiswi DIII keperawatan
tentang Etika
Keperawatan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Konsep
Dasar Farmakologi
Jaman dahulu obat yang dipergunakan
berasal dari tanaman (akar-akaran/ daun tumbuh-tumbuhan) u/ mengobati penyakit.
Pengetahuan ini secara turun temurun disimpan dan dikembangkan sehingga menjadi
ilmu pengobatan rakyat (jamu/obat tradisonal).
Permulaan
abad ke-20 obat-obatan kimia sintetik mulai nampak kemajuan dengan ditemukannya
obat-obatan kemoterapik seperti sulfonilamid (1935) dan penisilin (1940).
Definisi
obat :
Adalah
zat baik kimiawi, hewani maupun nabati, yg dalam dosis layak dapat
menyembuhkan, meringankan, atau mencegah penyakit atau gejala-gejalanya.
3
Macam Jenis Obat
- Obat farmakodinamika : adalah obat yg bekerja terhadap tuan rumah dengan jalan mempercepat / memperlambat proses fisiologis a/ fungsi2 biokimia di dalam tubuh.
Ex : vitamin, hormon
2.
Obat
kemoterapeutika : adalah obat yg membunuh kuman a/ parasit di dalam tubuh tuan
rumah.
Ex : antibiotik, obat cacing
3.
Obat diagnostik : adalah obat pembantu u/
melakukan diagnosis (pengenalan penyakit)
Ex : test mantoux u/ test TBC,
barium sulfat u/ melihat saluran lambung usus pada waktu rontgent.
Cara
Pemberian obat :
1.
Lokal : yang memberikan pengaruh setempat.
·
Topikal (pada kulit), ex : salep, krim,
lotion, spray (anastesy).
·
Supositoria (pada anus/vagina), ex :
untuk wasir.
2. Sistemik : yg
memberikan pengaruh pada seluruh sistem tubuh.
·
Melalui saluran pernapasan (inhalasi),
ex : eter (inhalasi), inhaler (u/ flu).
·
Melalui oral keseluruh pencernaan, ex :
tablet, syrup, kapsul.
·
Melalui membran mukosa / selaput lendir
(bawah lidah / sublingual, suppositoria)
·
Melalui kulit (implantasi subkutan), ex:
obat-obat KB (mengandung hormon)
·
Melalui injeksi (parenteral), yaitu
secara :
a.
Subkutan (hipodermal) : injeksi di bawah
kulit
b.
Intra muskuler : injeksi di dalam otot,
umumnya di daerah gluteus magnus.
c.
Intra vena : injeksi kedalam pembuluh darah
d.
Intra cutan (dalam kulit)
2.2 Konsep Farmakodinamika
1.
Mekanisme kerja obat
Adalah
akibat langsung dari penggabungan molekul obat (O) dengan suatu reseptor (R).
Bila reseptor itu suatu enzim maka hasilnya dapat enzim berupa penghambatan
ataupun perangsangan enzim tersebut.
Setelah terbentuk
kompleks obat – reseptor (OR),
kemungkinan besar akan terjadi
reaksi rantai lebih lanjut, tetapi yg terlihat a/ dapat di observasi adalah timbulnya perubahan fungsi organ
tertentu. Perubahan yg dapat dilihat kita sebut efek obat.
2.
Reseptor Obat
Ialah makromolekul di dalam tubuh yg
bergabung dengan obat & secara kimiawi dapat dikenali oleh obat.
Penggabungan ini merupakan reaksi permulaan dalam suatu rangkaian reaksi yg
pada akhirnya menimbulkan efek terhadap obat. Reseptor obat pada umumnya
merupakan molekul enzim atau komponen fungsional dari sel. Reseptor obat dapat
terletak pada membran sel, di dalam sel, atau ekstra sel.
3.
Transmisi sinyal obat
Transmisi sinyal obat (efek obat)
pada umunya terlihat sebagai perubahan intensitas faal organ tertentu atau reaksi
biokimianya. Karena efek obat adalah hal yg dapat diobservasi, maka dapat
digolongkan sesuai dengan efeknya. Ex : analgesik-antipiretik, hipoglikemik,
obat hipertensi, dsb.
4.
Interaksi
Obat - Reseptor
2 Jenis interaksi obat obat-reseptor,
yaitu :
1. Obat
dapat bergabung dengan reseptor & memulai aksi obat disebut agonist. Obat
ini berikatan dengan molekul khusus (suatu rerseptor) pada dinding sel,
perubahan kecil pada strukturnya akan mengubah efek obat.
Ex : narkotika analgetik
2. Obat tidak terikat pada reseptor di dinding sel
tetapi masuk ke dinding sel, & ini bergantung pada kelarutannya dalam lemak
& kemampuannya menembus didnding sel. Perubahan struktur molekul tidak
mengubah sifat fisiknya & tidak akan mengubah farmakologinya. Obat ini disebut
antagonist.
5. Antagonisme
Farmakodinamika
Berdasarkan Teori Laju
dari Paton, menyatakan bahwa :
Ø Bila obat diberikan dengan reseptor maka akan
dihasilkan sejumlah tertentu respon. Reseptor tersebut kemudian menjadi tidak
aktif selama masih dalam bentuk kompleks reseptor obat.
Ø Besarnya respon / efek hanya bergantung pada laju
pengikatan obat pada reseptor. Antagonist kuat dalam laju pengikatan reseptor
tetapi tidak melepaskan reseptor.
6.
Kerja Obat yang Tidak di Perantarai
Reseptor
Ex
: Antasida, Anthelmintika, laksatif, obat-obat diagnostik
2.3
Konsep Farmakokinetik
ABSORBSI
Obat akan masuk ke dalam badan bila penggunaan obat
secara enternal atau parenteral atau inhalasi dan topikal
Proses absorbsi terjadi bila
obat melintasi satu membran sel.
Absorbsi dipengaruhi dari sifat
fisikakimia membran
MEMBRAN SEL
Membran sel terdiri dari 3
elemen :
- Membran plasma
- Retikulum endoplasma
- Membran inti
Membran plasma
tersusun oleh :
- Protein
- Lipid
- Karbohidrat
Faktor – faktor yang mempengaruhi absorbsi obat :
·
Kelarutan
obat
·
Kemampuan
obat difusi melintasi membran sel
·
Kadar
obat
·
Sirkulasi
darah pada tempat absorbsi
·
Luas
permukaan kontak obat
·
Bentuk
sediaan obat
·
Rute
penggunaan obat
Obat adalah bahan atau panduan
bahan-bahan yang siap digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem
fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan,
penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan dan kontrasepsi (Undang-Undang
Kesehatan No. 23 tahun 1992) obat dapat didefinisikan sebagai bahan yang
menyebabkan perubahan dalam fungsi biologis melalui proses kimia. Sedangkan
definisi yang lengkap, obat adalah bahan atau campuran bahan yang digunakan (1)
pengobatan, peredaan, pencegahan atau diagnosa suatu penyakit, kelainan fisik
atau gejala-gejalanya pada manusia atau hewan; atau (2) dalam pemulihan,
perbaikan atau pengubahan fungsi organik pada manusia atau hewan. Obat dapat
merupakan bahan yang disintesis di dalam tubuh (misalnya : hormon, vitamin D)
atau merupakan merupakan bahan-bahan kimia yang tidak disintesis di dalam
tubuh.
2.4 Konsep Penggolongan Obat
Penggolongan
sederhana dapat diketahui dari definisi yang lengkap di atas yaitu obat untuk
manusia dan obat untuk hewan. Selain itu ada beberapa penggolongan obat yang
lain, dimana penggolongan obat itu dimaksudkan untuk peningkatan keamanan dan
ketepatan penggunaan serta pengamanan distribusi.
Obat dapat dibagi menjadi 4 golongan
yaitu :
Obat Bebas
Obat
bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep
dokter. Tanda khusus pada kemasan dan etiket obat bebas adalah lingkaran hijau
dengan garis tepi berwarna hitam. Contoh : Parasetamol Ini merupakan tanda obat
yang paling "aman" . Obat-obatan dengan tanda lingkaran hijau
mengindikasikan bahwa obat ini dapat dibeli bebas di pasaran. Yang termasuk
dalam golongan ini antara lain, vitamin, oralit, pedialit dan sebagainya. Obat
bebas, yaitu obat yang bisa dibeli bebas di apotek, bahkan di warung, tanpa
resep dokter, ditandai dengan lingkaran hijau bergaris tepi hitam. Obat bebas
ini digunakan untuk mengobati gejala penyakit yang ringan. Misalnya :
vitamin/multi vitamin (Livron B Plex, )
Obat Bebas Terbatas
Obat
bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih
dapat dijual
atau dibeli
bebas tanpa resep dokter, dan disertai dengan tanda peringatan. Tanda khusus
pada
kemasan dan
etiket obat bebas terbatas adalah lingkaran biru dengan garis tepi berwarna
hitam.
Contoh : CTM
Lingkaran
biru yang terdapat dalam kemasan obat mengindikasikan bahwa obat ini dijual
bebas
terbatas.
Maksudnya, meski bisa dibeli tanpa resep dokter, tapi aturan pakai dan efek
sampingnya
harus menjadi perhatian. Penggunaannya pun harus sesuai dengan indikasi
yang
tertulis pada kemasannya. Yang termasuk dalam golongan lingkaran biru antara
lain
obat batuk dan obat demam. Obat bebas terbatas
(dulu disebut daftar W). yakni obat-obatan yang dalam jumlah tertentu masih
bisa dibeli di apotek, tanpa resep dokter, memakai tanda lingkaran biru
bergaris tepi hitam. Contohnya, obat anti mabuk (Antimo), anti flu (Noza). Pada
kemasan obat seperti ini biasanya tertera peringatan yang bertanda kotak kecil
berdasar warna gelap atau kotak putih bergaris tepi hitam, dengan tulisan
sebagai berikut :
P.No. 1: Awas! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya.
P.No. 2: Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar dari badan.
P.No. 3: Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan.
P.No. 4: Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar.
P.No. 5: Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan
Memang, dalam keadaaan dan batas-batas tertentu; sakit yang ringan masih
dibenarkan untuk melakukan pengobatan sendiri, yang tentunya juga obat yang
dipergunakan adalah golongan obat bebas dan bebas terbatas yang dengan mudah
diperoleh masyarakat. Namun apabila kondisi penyakit semakin serius sebaiknya
memeriksakan ke dokter. Dianjurkan untuk tidak sekali-kalipun melakukan uji
coba obat sendiri terhadap obat - obat yang seharusnya diperoleh dengan
mempergunakan resep dokter.Apabila menggunakan obat-obatan yang dengan mudah
diperoleh tanpa menggunakan resep dokter atau yang dikenal dengan Golongan Obat
Bebas dan Golongan Obat Bebas Terbatas, selain meyakini bahwa obat tersebut
telah memiliki izin beredar dengan pencantuman nomor registrasi dari Badan
Pengawas Obat dan Makanan atau Departemen Kesehatan, terdapat hal- hal yang
perlu diperhatikan, diantaranya: Kondisi obat apakah masih baik atau sudak
rusak, Perhatikan tanggal kadaluarsa (masa berlaku) obat, membaca dan mengikuti
keterangan atau informasi yang tercantum pada kemasan obat atau pada
brosur selebaran yang menyertai obat
yang berisi tentang Indikasi (merupakan petunjuk kegunaan obat dalam
pengobatan), kontra-indikasi (yaitu petunjuk penggunaan obat yang tidak
diperbolehkan), efek samping (yaitu efek yang timbul, yang bukan efek yang
diinginkan), dosis obat (takaran pemakaian obat), cara penyimpanan obat, dan
informasi tentang interaksi obat dengan obat lain
yang digunakan dan dengan makanan yang dimakan
Obat Keras
dan Psikotropika
Obat keras adalah obat
yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus pada
kemasan dan etiket adalah huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi
berwarna hitam. Contoh : Asam Mefenamat
Obat psikotropika adalah obat keras baik alamiah maupun sintetis bukan
narkotik, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan
saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.
Contoh : Diazepam, Phenobarbital
Lingkaran merah
menunjukkan bahwa obat tersebut termasuk golongan obat keras yang harus
diresepkan dokter. Yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik,
obat-obat hormonal dan sebagainya.
Psikotropika adalah Zat/obat yang dapat menurunkan aktivitas otak atau
merangsang susunan syaraf pusat dan menimbulkan kelainan perilaku, disertai
dengan timbulnya halusinasi (mengkhayal), ilusi, gangguan cara berpikir,
perubahan alam perasaan dan dapat menyebabkan ketergantungan serta mempunyai
efek stimulasi (merangsang) bagi para pemakainya.
Jenis –jenis yang termasuk psikotropika:
a. Ecstasy
b. Sabu-sabu
Obat keras (dulu disebut obat daftar G = gevaarlijk = berbahaya) yaitu obat
berkhasiat keras yang untuk memperolehnya harus dengan resep dokter,memakai
tanda lingkaran merah bergaris tepi hitam dengan tulisan huruf K di dalamnya.
Obat-obatan yang termasuk dalam golongan ini adalah antibiotik (tetrasiklin, penisilin,
dan sebagainya), serta obat-obatan yang mengandung hormon (obat kencing manis,
obat penenang, dan lain-lain) .Obat-obat ini berkhasiat keras dan bila dipakai
sembarangan bisa berbahaya bahkan meracuni tubuh, memperparah penyakit atau
menyebabkan mematikan.
Obat
Narkotika
Obat narkotika adalah obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan menimbulkan ketergantungan. Contoh : Morfin, Petidin
Sebelum
menggunakan obat, termasuk obat bebas dan bebas terbatas harus diketahui sifat
dan cara pemakaiannya agar penggunaannya tepat dan aman. Informasi tersebut
dapat diperbolehkan dari etiket atau brosur pada kemasan obat bebas dan bebas
terbatasInformasi Kemasan, Etiket dan BrosurSebelum menggunakan obat, bacalah
sifat dan cara pemakaiannya pada etiket, brosur atau kemasan obat agar
penggunaannya tepat dan aman.
Pengaruh
tersebut berupa pembiusan, hilangnya rasa sakit, rangsangan semangat ,
halusinasi atau timbulnya khayalan-khayalan yang menyebabkan efek
ketergantungan bagi pemakainya.
Macam-macam narkotika:
a. Opiod
(Opiat)
Bahan-bahan opioida yang sering
disalahgunakan :
• Morfin
• Heroin
(putaw)
• Codein
• Demerol
(pethidina)
• Methadone
b. Kokain
c. Cannabis
(ganja)
Pada setiap brosur atau kemasan obat selalu
dicantumkan:
• Nama obat
• Komposisi
• Indikasi
• Informasi cara kerja obat
• Aturan pakai
• Peringatan (khusus untuk obat
bebas terbatas)
• Perhatian
• Nama produsen
• Nomor batch/lot
• Nomor registrasi
Nomor registrasi dicantumkan sebagai tanda ijin edar absah yang diberikan
oleh pemerintah pada setiap kemasan obat.
2.5 Dosis
Pemberian Obat
Dosis
Pemberian Obat untuk bayi dan anak-anak.
Memilih serta menetapkan dosis bayi dan anak memang tidaklah
mudah, banyak faktor yang harus diperhatikan. Diantaranya adalah keadaan
pasien, kasus sakit, jenis obat, toleransi tubuh dan lainnya. Respon tubuh bayi
dan anak terhadap obat tentulah tidak sama dengan respon orang dewasa. Berbagai
mekanisme metabolik yang terdapat pada bayi, terutama bayi prematur dan bayi
baru lahir memang belum dikembangkan dengan sempurna. Hal ini juga menyebabkan
biotransformasi terhadap obat menjadi terganggu, sehingga obat akan
berakumulasi ke arah konsentrasi letalnya dalam darah, keadaan ini jarang
terjadi pada orang dewasa. Respon tubuh bayi terhadap obat dalam usia beberapa
minggu yang pertama dalam kehidupannya akan jauh berbeda dibandingkan respon
tubuh anak yang berumur 1 tahun. Begitu pula respon tubuh anak berumur 1
tahun akan berbeda dengan orang dewasa.
Ada kalanya dosis obat dinyatakan
dalam mg/kg BB, pernyataan dosis seperti ini sebetulnya lebih baik, karena
dosis akan berlaku untuk semua pasien, mulai bayi, anak hingga orang dewasa.
Namun
pada kenyataannya, dosis obat yang tercantum umumnya hanya untuk orang dewasa,
sehingga jika dikenendaki dosis bayi dan anak dihitung berdasarkan dosis
dewasanya. Perhitungan dosis bayi dan anak terhadap dosis dewasa dapat dilakukan
berdasasrkan usia, bobot badan, atau luas permukaan badan. Saat ini perhitungan
dosis bayi dan anak berdasarkan usia orang dewasa sudah jarang dilakukan. Yang
saat ini banyak dipakai adalah perhitungan dosis anak terhadap orang dewasa
berdasarkan pada luas permukaan badan seberarnya, perhitungan inilah yang
dianggap paling baik saat ini, karena perhitungan luas permukaan telah
memperthitungkan bobot badan dan tinggi tubuh.
2.6 Bahaya
Pemberian/penggunaan Obat
Efek samping
Efek
samping merupakan reaksi obat yang merugikan dan terjadi ketika obat diberikan
dalam kisaran dosis terapeutik yang normal. Kebanyakan obat memiliki efek
samping yang potensial. Efek samping ini dapat dikelompokkan di bawah judul
berikut:
• Berhubungan dengan kerja utama obat
• Tidak berhubungan dengan kerja utama obat:
1. Berhubungan dengan kerja tambahan
2. Respons hipersensitivitas
3. Kerusakan sel
• Berhubungan dengan kerja utama obat
• Tidak berhubungan dengan kerja utama obat:
1. Berhubungan dengan kerja tambahan
2. Respons hipersensitivitas
3. Kerusakan sel
Efek samping yang berhubungan dengan kerja utama obat
Efek samping ini kerapkali merupakan efek samping obat yang utama. Intensitasnya biasanya berhubungan dengan takaran pemberian. Karena efek samping tersebut kerapkali sangat signifikan dan dapat diramalkan sepenuhnya, sistem pemantauan efek samping yang tepat harus dilaksanakan.Sebagai contoh, tanpa pengecekan yang adekuat, preparat antikoagulan dapat menimbulkan perdarahan dan insulin dapat menyebabkan hipoglikemia. Pada sejumlah obat lainnya, kaitan antara kerja obat dan efek sampingnya tidak begitu jelas sehingga diperlukan pemahaman yang lebih mendalam tentang fisiologinya. Sebagai contoh, metoklopramid dan proklorperazin (Stemetil®) merupakan preparat antagonis dopamin.
Keduanya
merupakan preparat anti-emetik yang berguna karena menyekat kerja eksitasi
dopamin pada pusat muntah. Akan tetapi, preparat tersebut juga menyekat kerja
dopamin yang dapat menimbulkan efek samping di daerah otak yang mengendalikan
postur dan gerakan tubuh (ganglia basalis). Bagi banyak obat, seperti
metoklopramid, tipe efek samping yang bisa diramalkan ini membatasi takaran
yang dapat diberikan.
Efek-efek Yang Tidak Diinginkan
Dalam Penggunaan Obat
Penggunaan
atau perpanjangan penggunaan obat dapat menghasilkan efek-efek yang kurang disukai atau tidak
diinginkan, seperti:
1. Reaksi hipersensitif atau reaksi alergi, respons abnormal terhadap obat.
1. Reaksi hipersensitif atau reaksi alergi, respons abnormal terhadap obat.
2. Kumulasi, terkumpulnya obat dalam
tubuh sebagai hasil pengulangan penggunaan obat yang diabsorpsi lebih cepat,
daripada ekskresinya dan dapat menimbulkan efek toksik.
3. Toleransi, berkurangnya respons
terhadap obat dengan dosis yang sama sehingga dosis obat tersebut harus
diperbesar untuk mendapatkan efek terapi yang sama.
Ada tiga macam toleransi, yaitu:
(a) Toleransi bawaan (primer).
(b) Toleransi dapatan (sekunder). Habituasi atau kebiasaan adalah suatu gejala ketergantungan psikologis terhadap suatu obat dengan ciri-ciri, di antaranya ingin selalu menggunakan obat, cenderung menaikkan dosis (kecil), timbul ketergantungan psikis, dan muncul efek yang merugikan individu. Habituasi dapat terjadi dengan melalui induksi enzim yang dapat menguraikan obat, terbentuknya reseptor-reseptor sekunder, dan terjadinya penghambatan resorpsi.
(c) Toleransi silang. Timbul karena obat-obat memiliki struk¬tur kimia yang serupa atau merupakan derivatnya.Misalnya, fenobarbital dan butobarbital.
Ada tiga macam toleransi, yaitu:
(a) Toleransi bawaan (primer).
(b) Toleransi dapatan (sekunder). Habituasi atau kebiasaan adalah suatu gejala ketergantungan psikologis terhadap suatu obat dengan ciri-ciri, di antaranya ingin selalu menggunakan obat, cenderung menaikkan dosis (kecil), timbul ketergantungan psikis, dan muncul efek yang merugikan individu. Habituasi dapat terjadi dengan melalui induksi enzim yang dapat menguraikan obat, terbentuknya reseptor-reseptor sekunder, dan terjadinya penghambatan resorpsi.
(c) Toleransi silang. Timbul karena obat-obat memiliki struk¬tur kimia yang serupa atau merupakan derivatnya.Misalnya, fenobarbital dan butobarbital.
4. Takifilaksis, berkurangnya
kecepatan respons terhadap aksi obat pada pengulangan pemberian dalam dosis yang
sama.
5. Adiksi, ketergantungan rohaniah
dan jasmaniah terhadap obat-obat dengan karakteristik sebagai berikut.
(a) Adanya dorongan untuk selalu menggunakan obat.
(b) Kecenderungan menaikkan dosis (besar).
(c) Timbul ketergantungan rohaniah diikuti badaniahnya.
(d) Merugikan masyarakat maupun individu.
(e) Penghentian obat dapat menimbulkan abstinensi.Narkotik dapat menimbulkan adiksi/ketagihan yang lebih berat atau lebih besar daripada efek euforia (rasa nyaman yang kuat, kecemasan hilang), sedangkan amfetamin menimbulkan toleransi dan adiksi yang lebih ringan daripada narkotik.Penggunaan obat campuran atau beberapa obat secara bersamaan dapat menimbulkan hal-hal berikut.
1. Efek adisi, efek penjumlahan dari efek masing-masing obat.
2. Efek sinergis, efek kombinasi yang sama dengan jumlah dari kegiatan kedua zat (adisi) atau melebihi jumlah tersebut (potensiasi).
3. Efek potensiasi, timbulnya efek yang lebih besar daripada jumlah efek kedua obat.
4. Efek antagonis, yaitu efek yang berlawanan, misalnya striknin dan barbital.
5. Interaksi obat, yang akan menyebabkan modifikasi efek obat-obat tersebut. Misalnya, ion Al, Fe, Mg, dan Ca menghambat absorpsi tetrasiklin; alkohol akan memperkuat efek obat lain; serta furosemid akan menaikkan efek digitalis.
(a) Adanya dorongan untuk selalu menggunakan obat.
(b) Kecenderungan menaikkan dosis (besar).
(c) Timbul ketergantungan rohaniah diikuti badaniahnya.
(d) Merugikan masyarakat maupun individu.
(e) Penghentian obat dapat menimbulkan abstinensi.Narkotik dapat menimbulkan adiksi/ketagihan yang lebih berat atau lebih besar daripada efek euforia (rasa nyaman yang kuat, kecemasan hilang), sedangkan amfetamin menimbulkan toleransi dan adiksi yang lebih ringan daripada narkotik.Penggunaan obat campuran atau beberapa obat secara bersamaan dapat menimbulkan hal-hal berikut.
1. Efek adisi, efek penjumlahan dari efek masing-masing obat.
2. Efek sinergis, efek kombinasi yang sama dengan jumlah dari kegiatan kedua zat (adisi) atau melebihi jumlah tersebut (potensiasi).
3. Efek potensiasi, timbulnya efek yang lebih besar daripada jumlah efek kedua obat.
4. Efek antagonis, yaitu efek yang berlawanan, misalnya striknin dan barbital.
5. Interaksi obat, yang akan menyebabkan modifikasi efek obat-obat tersebut. Misalnya, ion Al, Fe, Mg, dan Ca menghambat absorpsi tetrasiklin; alkohol akan memperkuat efek obat lain; serta furosemid akan menaikkan efek digitalis.
Ketika kita menggunakan suatu obat,
tentunya yang kita harapkan adalah kesembuhan. Sembuh dari penyakit baik
penyakit infeksi ataupun yang bukan penyakit infeksi. Efek menyembuhkan yang
diharapkan dari obat ini disebut dengan efek terapi atau efek utama dari obat.
Pertanyaannya adalah apakah obat hanya memiliki efek terapi ? Jawabannya tentu
tidak. Kita sering mendengar bahwa banyak masyarakat yang takut untuk
menggunakan obat kimia karena memiliki efek samping. Efek samping ini juga
merupakan efek lain yang bisa ditimbulkan oleh obat. Efek obat bisa kita
jelaskan sebagai berikut :
- Efek terapi/ efek utama Efek ini adalah efek yang diharapkan dari suatu obat. Misalnya paracetamol dengan dosis 500 mg dapat menurunkan panas tubuh orang dewasa atau pada dosis yang lebih kecil untuk anak-anak. Glibenklamid memberikan efek terapi menurunkan kadar gula pada penderita diabetes. Satu obat bisa memiliki beberapa khasiat/ efek terapi. Misalnya parasetamol disamping menurunkan panas badan, juga berefek meredakan rasa nyeri seperti sakit kepala atau gigi. Amlodipin bisa digunakan untuk mengobati tekanan darah tinggi dan angina.
- Efek toksik Toksik berarti racun. Berefek toksik artinya obat bisa menyebabkan keracunan. Dalam dunia farmasi dan kedokteran, beda antara obat dan racun ada pada dosis. Jika obat digunakan pada dosis yang melebihi dosis terapinya, obat tersebut akan berefek sebagai racun. Obat bisa menyebabkan keracunan pada berbagai anggota tubuh terutama anggota tubuh yang banyak dilewati oleh aliran darah. Contonya adalah ginjal ( oleh obat cefalexin, cisplatin, gentamisin ); hati ( contoh obat parasetamol, isoniazid, clorpromazin ); paru-paru ( cth obat amiodaron, bleomisin ); system reproduksi ( cth obat kanker bisa menimbulkan fertilitas pada pria ); dan lain-lain.
- Efek samping Kalau efek toksik terjadi pada dosis tinggi, maka efek samping biasanya terjadi pada dosis terapi. Tingkat kejadian efek samping ini sangat bervariasi antara satu obat dengan obat lainnya. Efek samping ini juga tidak dialami oleh semua orang karena masing-masing orang memiliki kepekaan dan kemampuan untuk mengatasi efek ini secara berbeda-beda. Efek samping suatu obat bisa lebih banyak dibandingkan efek terapinya. Contohnya adalah amlodipin ( obat tekanan darah tingg ). Efek samping yang umum terjadi adalah jantung berdebar ( sampai 4,5% ), nyeri perut ( 1.6% ), mual ( 2.9% ), sakit kepala ( 7.3% ), lemas ( 4.5% ), dan lain-lain. Persentase dalam tanda kurung menunjukkan jumlah kejadian. Tidak selamanya efek samping ini merugikan. Pada kondisi tertentu efek ini bisa dimanfaatkan. Misalnya efek mengantuk akibat obat antihistamin bermanfaat pada anak yang sedang batuk flue agar bisa beristirahat dengan baik. Efek samping ini bisa diperkirakan, tetapi ada juga yang tidak seperti reaksi alergi. Ada beberapa kejadian dimana orang melepuh tubuhnya setelah menggunakan obat. Ini adalah salah satu contoh efek yang tidak bisa diprediksi atau diperkirakan.
Sebagai pengguna obat. Kita sebaiknya
memahami berbagai efek yang bisa ditimbulkan oleh obat yang sedang kita
gunakan. Baik efek terapi, efek toksik dan juga efek sampingnya. Pemahaman ini
sangat diperlukan agar kita bisa lebih waspada terhadap segala kemungkinan yang
bisa terjadi. Informasi ini bisa diperoleh dari dokter, apoteker atau
sumber-sumber lainnya.
Efek Samping Kerja Tambahan Obat
Efek
samping yang berhubungan dengan kerja tambahan. Banyak obat bekerja pada lebih
dari satu tipe reseptor sel; sebagai
konsekuensinya dapat terjadi efek samping yang beragam. Sekali lagi, efek
samping ini dapat diramalkan, dan bidan harus memantau atau mengingatkan ibu hamil tentang pelbagai efek
samping tersebut secara tepat. Sebagai contoh, oksitosin bekerja pada reseptor
oksitosik dalam uterus dan juga pada reseptor anti-diuretik (ADH) dalam nefron ginjal.
Sifat ini berpotensi untuk memicu retensi air dan sekaligus overloading
cairan. Dengan demikian, bidan harus memonitor keseimbangan cairan. Demikian
pula, proklorperazin juga bekerja pada reseptor muskarinik di samping pada
reseptor dopamin.
Dengan menyekat kerja reseptor muskarinik, proklorperazin menyebabkan
pula pengeringan sekresi tubuh seperti saliva. Karena itu, bidan harus memberi
tahu efek samping yang mungkin terjadi kepada ibu hamil yang memakai preparat
tersebut dan menganjurkannya untuk banyak minum air.
Pada kehamilan, kerja-tambahan obat pada uterus membawa makna yang
sangat penting. Setiap obat yang menstimulasi kontraktilitas uterus harus
dihindari; obat-obat ini meliputi preparat laksatif stimulan, misoprostol dan
semua obat yang secara kimia ada kaitannya dengan ergotamin.
Kelompok obat yang terakhir ini mencakup obat-obat yang diresepkan untuk
migrain seperti sumatriptan, dan dengan demikian kelompok obat tersebut
merupakan kontraindikasi pada kehamilan serta laktasi (Pfaffenrath & Rehm,
1998). Obat-obat ini sering diresepkan atas dasar ‘jika diperlukan’ dan
disimpan serta digunakan bila terjadi serangan migrain;
ibu hamil harus berhati-hati untuk tidak menggunakan obat-obat tersebut secara terus-menerus selama kehamilannya.
ibu hamil harus berhati-hati untuk tidak menggunakan obat-obat tersebut secara terus-menerus selama kehamilannya.
Kerja Dan Efek Samping Obat
Umumnya
kerja dan efek samping obat tidak dipengaruhi oleh cara pemberian. Akan tetapi, awitan
efek yang merugikan dapat jauh lebih cepat bila obat tersebut disuntikkan
intravena sehingga diperlukan tindakan penjagaan ekstra. Sebagai contoh
ilustratif akan dikemukakan ampisilin dan diazepam.
Ampisilin
Penyuntikan ampisilin intravena menimbulkan beberapa masalah yang potensial yang tidak dijumpai pada pemberian per oral (Gahart, 1992):
Penyuntikan ampisilin intravena menimbulkan beberapa masalah yang potensial yang tidak dijumpai pada pemberian per oral (Gahart, 1992):
• Dalam cairan infus, ampisilin tidak dapat bercampur dengan banyak obat yang
lain,misalnya gentamisin.
• Kerja ampisilin dapat menghilang jika terkena tetrasiklin atau eritromisin.
• Potensiasi heparin dapat terjadi bila preparat ini terkena ampisilin.
• Serangan kejang dapat terjadi jika penyuntikan ampisilin dilakukan terlalu cepat, khususnya pada neonatus dan pasien gangguan ginjal.
• Reaksi hipersensitivitas yang terjadi cenderung sangat parah. Pasien yang mendapatkan preparat penyekat-beta (mis. labetolol) berisiko untuk mengalami reaksi hipersensitivitas.
• Kerja ampisilin dapat menghilang jika terkena tetrasiklin atau eritromisin.
• Potensiasi heparin dapat terjadi bila preparat ini terkena ampisilin.
• Serangan kejang dapat terjadi jika penyuntikan ampisilin dilakukan terlalu cepat, khususnya pada neonatus dan pasien gangguan ginjal.
• Reaksi hipersensitivitas yang terjadi cenderung sangat parah. Pasien yang mendapatkan preparat penyekat-beta (mis. labetolol) berisiko untuk mengalami reaksi hipersensitivitas.
Diazepam
Penyuntikan diazepam intravena sangat penting untuk mengendalikan serangan kejang. Akan tetapi, tindakan ini dapat menyebabkan beberapa masalah yang biasanya tidak terlihat pada pemberian per oral:
Penyuntikan diazepam intravena sangat penting untuk mengendalikan serangan kejang. Akan tetapi, tindakan ini dapat menyebabkan beberapa masalah yang biasanya tidak terlihat pada pemberian per oral:
• Depresi pernapasan dapat terjadi
pada individu yang rentan. Karena itu, dukungan respirasi harus sudah
disediakan dahulu untuk digunakan dalam keadaan emerjensi.
• Diazepam tidak dapat diencerkan atau dicampur dengan obat lain atau cairan infus.
• Diazepam cenderung mengendap pada selang infus dan dengan demikian obat ini sedapat mungkin disuntikkan langsung ke dalam pembuluh vena.
• Diazepam bersifat iritan sehingga penyuntikan pada pembuluh vena yang kecil hams dihindari; kebocoran pada penyuntikan diazepam merupakan keadaan yang berbahaya. Terdapat risiko tromboflebitis yang tinggi.
• Preparat sedatif lain (mis. petidin) dapat menimbulkan potensiasi; karena itu, dukungan. respirasi harus sudah tersedia. Tirah baring harus dipertahankan selama tiga jam sesudah penyuntikan.
• Setelah pemberian dengan dosis tinggi, gejala putus obat (seperti ansietas, insomnia, fotofobia, tinitus dan mual) dapat berlangsung selama beberapa minggu.
• Diazepam tidak dapat diencerkan atau dicampur dengan obat lain atau cairan infus.
• Diazepam cenderung mengendap pada selang infus dan dengan demikian obat ini sedapat mungkin disuntikkan langsung ke dalam pembuluh vena.
• Diazepam bersifat iritan sehingga penyuntikan pada pembuluh vena yang kecil hams dihindari; kebocoran pada penyuntikan diazepam merupakan keadaan yang berbahaya. Terdapat risiko tromboflebitis yang tinggi.
• Preparat sedatif lain (mis. petidin) dapat menimbulkan potensiasi; karena itu, dukungan. respirasi harus sudah tersedia. Tirah baring harus dipertahankan selama tiga jam sesudah penyuntikan.
• Setelah pemberian dengan dosis tinggi, gejala putus obat (seperti ansietas, insomnia, fotofobia, tinitus dan mual) dapat berlangsung selama beberapa minggu.
Masalah Dan
Kejadian Efek Samping Obat
Setiap
obat mempunyai kemungkinan untuk menyebabkan efek samping, oleh karena seperti
halnya efek farmakologik, efek samping obat juga merupakan hasil interaksi yang
kompleks antara molekul obat dengan tempat kerja spesifik dalam sistem biologik
tubuh. Kalau suatu efek farmakologik terjadi secara ekstrim, ini pun akan
menimbulkan pengaruh buruk terhadap sistem biologik tubuh. Pengertian efek
samping dalam pembahasan ini adalah setiap efek yang tidak dikehendaki yang
merugikan atau membahayakan pasien (adverse reactions) dari suatu pengobatan.
Efek samping tidak mungkin dihindari/dihilangkan sama sekali, tetapi dapat
ditekan atau dicegah seminimal mungkin dengan menghindari faktor-faktor risiko
yang sebagian besar sudah diketahui.
Beberapa contoh efek samping misalnya:
Reaksi alergi
akut karena penisilin (reaksi imunologik), hipoglikemia berat karena pemberian
insulin (efek farmakologik yang berlebihan), osteoporosis karena pengobatan
kortikosteroid jangka lama (efek samping karena penggunaan jangka lama)
hipertensi karena penghentian pemberian klonidin (gejala penghentian obat -
withdrawal syndrome). fokomelia pada anak karena ibunya menggunakan talidomid
pada masa awal kehamilan (efek teratogenik), dan sebagainya.
Masalah
efek samping obat dalam klinik tidak dapat dikesampingkan begitu saja oleh
karena kemungkinan dampak negatif yang terjadi, misalnya:
a) Kegagalan
pengobatan, Timbulnya keluhan penderitaan atau penyakit baru karena obat
(drug-induced disease atau iatrogenic disease), yang semula tidak diderita oleh
pasien.
b) Pembiayaan
yang harus ditanggung sehubungan dengan kegagalan terapi, memberatnya penyakit
atau timbulnya penyakit yang baru tadi (dampak ekonomik).
c) Efek
psikologik terhadap penderita yang akan mempengaruhi keberhasilan terapi lebih
lanjut misalnya menurunnya kepatuhan berobat. Angka kejadian yang dilaporkan
cukup beragam.
Pembagian
Efek Samping Obat
Efek samping obat dapat dikelompokkan/diklasifikasi
dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan ada/tidaknya hubungan dengan dosis,
berdasarkan bentuk-bentuk manifestasi efek samping yang terjadi, dsb. Namun
mungkin pembagian yang paling praktis dan paling mudah diingat dalam melakukan
pengobatan.
Jenis-jenis
efek samping obat.
Efek samping yang dapat diperkirakan:
aksi
farmakologik yang berlebihan respons karena penghentian obat efek samping yang
tidak berupa efek farmakologik utama reaksi alergi reaksi karena faktor
genetik, reaksi idiosinkratik.
Efek
farmakologik yang berlebihan
Terjadinya
efek farmakologik yang berlebihan (disebut juga efek toksik) dapat disebabkan
karena dosis relatif yang terlalu besar bagi pasien yang bersangkutan. Keadaan
ini dapat terjadi karena dosis yang diberikan memang besar, atau karena adanya
perbedaan respons kinetik atau dinamik pada kelompok-kelompok tertentu,
misalnya pada pasien dengan gangguan faal ginjal, gangguan faal jantung,
perubahan sirkulasi darah, usia, genetik dsb., sehingga dosis yang diberikan
dalam takaran lazim, menjadi relatif terlalu besar pada
pasien-pasien
tertentu (lihat modul Pemakaian obat pada kelompok khusus: anak, usia lanjut,
kehamilan, dan modul Farmakokinetika klinik dan dasar-dasar pengaturan dosis
obat dalam klinik). Selain itu efek ini juga bisa terjadi karena interaksi
farmakokinetik maupun farmakodinamik antar obat yang diberikan bersamaan,
sehingga efek obat menjadi lebih besar. Efek samping jenis ini umumnya dijumpai
pada pengobatan dengan depresansia susunan saraf pusat, obat-obat pemacu jantung,
antihipertensi dan hipoglikemika/antidiabetika.
Beberapa contoh
spesifik dari jenis efek samping ini misalnya:
ü Depresi respirasi pada pasien-pasien bronkitis
berat yang menerima pengobatan dengan morfin atau benzodiazepin.
ü Hipotensi yang terjadi pada stroke, infark
miokard atau kegagalan ginjal pada pasien yang menerima obat antihipertensi
dalam dosis terlalu tinggi.
ü Bradikardia pada pasien-pasien yang menerima
digoksin dalam dosis terlalu tinggi.
ü Palpitasi pada pasien asma karena dosis teofilin
yang terlalu tinggi.
ü Hipoglikemia karena dosis antidiabetika terlalu
tinggi.
ü Perdarahan yang terjadi pada pasien yang sedang
menerima pengobatan dengan warfarin, karena secara bersamaan juga minum
aspirin.
Semua
pasien mempunyai risiko untuk mendapatkan efek samping karena dosis yang
terlalu tinggi ini, dan upaya pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan
perhatian khusus terhadap kelompok-kelompok pasien dengan risiko tinggi tadi
(penurunan fungsi ginjal, penurunan fungsi hepar, bayi dan usia lanjut). Selain
itu riwayat pasien dalam pengobatan yang mengarah ke kejadian efek samping juga
perlu diperhatikan.
Efek samping yang tidak berupa efek farmakologik
utama
Efek-efek
samping yang berbeda dari efek farmakologik utamanya, untuk sebagian besar obat
umumnya telah dapat diperkirakan berdasarkan penelitian-penelitian yang telah
dilakukan secara sistematik sebelum obat mulai digunakan untuk pasien.
Efek-efek ini umumnya dalam derajad ringan namun angka kejadiannya bisa cukup
tinggi. Sedangkan efek samping yang lebih jarang dapat diperoleh dari
laporan-laporan setelah obat dipakai dalam populasi yang lebih luas. Data efek
samping berbagai obat dapat ditemukan dalam buku-buku standard, umumnya lengkap
dengan perkiraan angka kejadiannya. Sebagai contoh misalnya:
1.
Iritasi
lambung yang menyebabkan keluhan pedih, mual dan muntah pada obat-obat
kortikosteroid oral, analgetika-antipiretika, teofilin, eritromisin,
rifampisin, dll.
2.
Rasa
ngantuk (drowsiness) setelah pemakaian antihistaminika untuk anti mabok
perjalanan (motion sickness).
3.
Kenaikan
enzim-enzim transferase hepar karena pemberian rifampisin.
4.
Efek
teratogenik obat-obat tertentu sehingga obat tersebut tidak boleh diberikan
pada wanita hamil.
5.
Penghambatan
agregasi trombosit oleh aspirin, sehingga memperpanjang waktu pendarahan.
6.
Ototoksisitas
karena kinin/kinidin, dsb.
Dikenal 4 macam mekanisme terjadinya efek obat pada
alergi, yakni:
Tipe I. Reaksi
anafilaksis:
yaitu terjadinya interaksi antara antibodi IgE pada sel mast dan leukosit
basofil dengan obat atau metabolit, menyebabkan pelepasan mediator yang
menyebabkan reaksi alergi, misalnya histamin, kinin, 5-hidroksi triptamin, dll.
Manifestasi efek samping bisa berupa urtikaria, rinitis, asma bronkial,
angio-edema dan syok anafilaktik. Syok anafilaktik ini merupakan efek samping
yang paling ditakuti. Obat-obat yang sering menyebabkan adalah penisilin,
streptomisin, anestetika lokal, media kontras yang mengandung jodium.
Tipe II. Reaksi
sitotoksik:
yaitu interaksi antara antibodi IgG, IgM atau IgA dalam sirkulasi dengan
obat,membentuk kompleks yang akan menyebabkan lisis sel, Contohnya adalah
trombositopenia karena kuinidin/kinin, digitoksin, dan rifampisin, anemia
hemolitik karena pemberian penisilin, sefalosporin, rifampisin, kuinin dan
kuinidin, dll.
Tipe III. Reaksi
imun-kompleks:
yaitu interaksi antara antibodi IgG dengan antigen dalam sirkulasi, kemudian
kompleks yang terbentuk melekat pada jaringan dan menyebabkan kerusakan
endotelium kapiler. Manifestasinya berupa keluhan demam, artritis, pembesaran
limfonodi, urtikaria, dan ruam makulopapular. Reaksi ini dikenal dengan istilah
"serum sickness", karena umumnya muncul setelah penyuntikan dengan
serum asing (misalnya anti-tetanus serum).
Tipe IV. Reaksi
dengan media sel:
yaitu sensitisasi limposit T oleh kompleks antigen-hapten-protein, yang
kemudian baru menimbulkan reaksi setelah kontak dengan suatu antigen,
menyebabkan reaksi inflamasi. Contohnya adalah dermatitis kontak yang
disebabkan salep anestetika lokal, salep antihistamin, antibiotik dan antifungi
topikal.
Bahaya
Penggunaan Obat
Toleransi Obat
Toleransi
obat adalah suatu peristiwa di mana dosisi obat harus dinaikkan terus-menerus
untuk mencapai efek terapeutinya yang sama. Macam-macam toleransi obat, yaitu:
a)
Toleransi
primer (bawaan)
b)
Toleransi
sekunder (timbul setelah menggunakan obat selama waktu tertentu).
c)
Toleransi
silang (terjadi antara zat-zat yang mempunyai struktur kimia serupa).
Contoh dari toleransi obat: barbiturate (obat bius tidur) yaitu obat yang
bertindak sebagai depresan sistem saraf pusat, dan karena itu dapat
menghasilkan spektrum yang luas dari efek, dari sedasi ringan sampai anestesi
total. Mereka juga efektif sebagai anxiolytics, sebagai hipnotik, dan sebagai
antikonvulsan. Barbiturat juga memiliki efek analgesik, namun efek yang agak
lemah, mencegah barbiturat dari yang digunakan dalam operasi dengan tidak
adanya analgesik lainnya. Mereka memiliki potensi kecanduan, baik fisik dan
psikologis. Barbiturat kini sebagian besar telah digantikan oleh benzodiazepin
dalam praktek medis rutin - misalnya, dalam pengobatan kecemasan dan insomnia -
terutama karena benzodiazepin secara signifikan kurang berbahaya di overdosis.
Namun, barbiturat masih digunakan dalam anestesi umum, untuk epilepsi, dan
bunuh diri.
Habituasi
Habituasi
atau ketagihan adalah kejadian pemakaian obat secara menahun yang disebabkan
gangguan emosi bila pemberian obat dihentikan. Contohnya merokok (nikotin) dan
minum kopi (kafein).
a.
Tembakau mengandung
0,2-5% nikotin. Pada rokok tembakau, nikotin terkandung dalam partikel kecil
tar. Nikotin sangat cepat diserap melalui bronkus dan alveolus paru-paru, dan
sudah dapat dideteksi dari otak hanya dalam 8 detik setelah hirupan pertama.
Merokok sebatang rokok diperkirakan kadar nikotin dalam darah antar 25-50ng/ml.
Pada kadar ini nikotin berefek menstimulasi ganglion saraf.
b.
Kafein adalah diuretik, dapat
memperburuk masalah ginjal atau kandung kemih. Untuk itu minum air putih
sebanyak mungkin bagi pecandu kopi. Jika tidak, berhati-hatilah, ganti cairan
yang hilang dengan air murni. Mungkin efek sakit terburuk dari
minum kopi berlebihan adalah masalah kelenjar adrenal. Ketika kita minum kopi,
kelenjar adrenal dirangsang untuk menghasilkan adrenalin. Ini merupakan bagian
dari perlawanan sindrom yang menyebabkan iritabilitas, terutama karena juga
menghambat serotonin penenangan. Jika kopi dikonsumsi secara berlebihan,
terlalu sering dan terlalu lama, seseorang bisa mengalami Kelelahan adrenal,
penyakit yang tampaknya diakui oleh pengobatan holistik saja. Kelelahan adrenal
menurunkan produksi kortisol, sehingga sangat sulit untuk mengatasi stres.
Adiksi
Adiksi
adalah adanya ketergantungan jasmani dan bila pengobatab dihentikan menimbulkan
efek yang hebat, dengan karakteristik sebagai berikut:
a)
Adanya
dorongan untuk selalu menggunakan obat.
b)
Kecenderungan
menaikkan dosis dalam jumlah yang besar.
c)
Timbul
ketergantungan rohaniah diikuti badaniahnya.
d)
Merugikan
masyarakat maupun individu.
e)
Penghentian
obat dapat menimbulkan abstinensi.
Contoh dari adiksi dalam
bahaya penggunaan obat yaitu morfin adalah alkaloid analgesik yang
sangat kuat dan merupakan agen aktif utama yang ditemukan pada opium. Morfina bekerja langsung pada sistem saraf pusat untuk menghilangkan rasa sakit. Efek samping
morfina antara lain adalah penurunan kesadaran, euforia, rasa kantuk, lesu, dan penglihatan kabur. Morfina juga
mengurangi rasa lapar, merangsang batuk, dan meyebabkan konstipasi.
Morfina menimbulkan ketergantungan tinggi dibandingkan zat-zat lainnya. Pasien
ketergantungan morfina juga dilaporkan menderita insomnia dan mimpi buruk.
Resistensi
Bakteri
Antibiotik pertama, penisilin, ditemukan oleh
Alexander Flemming pada tahun 1927. Kemudian, pada tahun 1939, Edward Chain dan
Howard Florey melakukan studi terkait penemuan Alexander Flemming yaitu
penggunaan penisilin pada manusia dalam mengatasi infeksi akibat mikroba
khususnya bakteri. Hasil yang diperoleh mengacu terhadap keefektifan penisilin
dalam mengatasi penyakit infeksi akibat mikroba. Seiring dengan perjalanan
waktu, antibiotik bekerja dengan sempurna dalam mengatasi penyakit infeksi
hingga muncul pendeklarasian oleh bagian bedah US pada tahun 1969, “It’s time
to close the book on infectious disease (Inilah waktunya untuk tutup buku
terhadap penyakit infeksi)”.
Pada tahun 1941, semua strain (jenis) bakteri
Staphylococcus (penyebab umum luka dan infeksi pascaoperasi) peka terhadap
penisilin. Namun, tiga tahun kemudian, strain ini tidak lagi peka terhadap
penisilin atau dengan kata lain resistensi terhadap penisilin. Hingga saat ini,
khususnya di rumah sakit, tidak hanya strain bakteri Staphylococcus yang
diketahui mengalami resistensi terhadap antibiotik namun juga termasuk salah
satunya adalah Pseudomonas, Enterococcus, dan Mycobacterium tuberculosis.
Resistensi bakteri terhadap antibiotik adalah
kemampuan alamiah bakteri untuk mempertahankan diri terhadap efek antibiotik.
Antibiotik menjadi kurang efektif dalam mengontrol atau menghentikan
pertumbuhan bakteri. Bakteri yang menjadi target operasi antibiotik beradaptasi
secara alami untuk menjadi “resisten” dan tetap melanjutkan pertumbuhan demi kelangsungan
hidup meski dengan kehadiran antibiotik.
Secara garis besar resistensi bakteri terhadap antibiotik melalui tiga mekanisme :
Secara garis besar resistensi bakteri terhadap antibiotik melalui tiga mekanisme :
1. Terjadi mutasi pada porin
(lubang-lubang kecil) yang terdapat pada dinding luar bakteri. Porin ini
merupakan suatu jalur bagi antibiotik untuk masuk dan secara efektif
menghentikan pertumbuhan bakteri. Akibat mutasi yang terjadi pada porin,
antibiotik tidak lagi dapat mencapai tempat kerjanya di dalam sel bakteri.
2. Adanya inaktivasi antibiotik.
Mekanisme ini mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap antibiotik golongan
aminoglikosida dan beta laktam karena bakteri mampu membuat enzim yang merusak
kedua golongan antibiotik tersebut.
3. Terjadi pengubahan tempat ikatan
antibiotik oleh bakteri sehingga antibiotik tidak mampu lagi untuk berikatan
dengan bakteri sebagai upaya menghentikan pertumbuhan bakteri tersebut.
Terdapat dua hal mendasar terkait
dengan terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik yaitu kemampuan
bakteri untuk berevolusi membentuk pertahanan diri terhadap antibiotik secara
cepat dan kontribusi manusia dalam membantu bakteri tersebut untuk berevolusi
lebih cepat. Kontribusi manusia menjadi faktor risiko penting dalam resistensi
bakteri yaitu penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Penggunaan antibiotik yang
tidak tepat terkait dengan penggunaan antibiotik yang irrasional. Konteks
irrasional bermakna luas. Pertama, penggunaan antibiotik yang sering dalam
pengobatan sehingga dapat mengurangi keefektifan dari antibiotik tersebut.
Kedua, penggunaan antibiotik yang berlebihan. Beberapa contoh antibiotik yang
relatif cepat kehilangan efektivitasnya setelah dipasarkan karena masalah
resistensi adalah ciprofloxacin dan cotrimoxazole. Banyak dokter yang secara
irrasional meresepkan antibiotik terhadap pasien bahkan ketika pasien itu sama
sekali tidak membutuhkan antibiotik, misalnya saat terserang infeksi virus.
Ketiga, penggunaan antibiotik dalam jangka waktu lama sehingga memberi
kesempatan untuk tumbuhnya bakteri yang lebih resisten (first step mutant).
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat serta
irrasional menjadi masalah utama dalam resistensi bakteri terhadap antibiotik.
Penyebab dari hal tersebut adalah peresepan antibiotik yang salah dengan dosis
yang tidak tepat untuk infeksi tertentu. Selain itu, terdapatnya beberapa
kalangan medis yang meresepkan antibiotik berspektrum luas untuk membunuh
bakteri yang menyebabkan infeksi sehingga bakteri target lebih tahan terhadap
antibiotik tersebut yang tidak spesifik untuk dirinya. Permasalahan utama lain
terkait penggunaan antibiotik yang tidak tepat adalah tersedianya antibiotik
secara bebas di pasaran bahkan tanpa resep dokter. Penggunaan antibiotik yang
tidak dipahami pasien juga dapat menjadi salah satu penyebab resistensi
bakteri. Sebagian besar pasien yang mendapatkan terapi antibiotik sering
menghentikan pengobatan saat dirinya merasa secara subjektif lebih baik dari
sebelumnya atau anggapan bahwa dirinya telah sembuh padahal dokter telah
memberi dosis antibiotik yang sesuai untuk dikonsumsi hingga bakteri yang menjadi
penyebab infeksi dapat dibasmi secara tuntas. Hal ini mengakibatkan bakteri
yang ada pada tubuh pasien tersebut tidak secara tuntas dibasmi dan timbul
pertahanan diri yang baru terhadap antibiotik yang sama yang akan menyerang
kelak.
Penggunaan antibiotik yang tidak tepat telah disadari
sebagai sebuah kontribusi utama pada resistensi bakteri. Hal penting yang harus
digarisbawahi dalam hal ini adalah adanya strategi kontrol terhadap penggunaan
antibiotik dalam meningkatkan efektivitasnya terhadap penghambatan atau
pembunuhan bakteri sehingga resistensi bakteri terhadap antibiotik pun dapat
diatasi.
2.7 Peran Kolaboratif perawat dan prinsip
pemberian Obat
Pemberian Obat
Subkutan
Pemberian obat subkutan adalah pemberian
obat melalui suntikan ke bawah kulit yang dapat dilakukan pada daerah lengan
atas sebelah luar atau 1/3 bagian dari bahu, paha sebelah luar, daerah dada,
dan daerah sekitar umbilikus (abdomen). Pemberian obat memalui subkutan ini
pada umumnya dilakukan dalam program pemberian insulin yang digunakan untuk
mengontrol kadar gula darah. Dalam pemberian insulin terdapat dua tipe larutan, yaitu larutan yang jernih
dan larutan yang keruh. Larutan jernih adalah insulin tipe reaksi cepat
(insulin reguler) dan larutan keruh adalah tipe lambat karena adanya penambahan
protein yang memperlambat absorpsi obat.
Alat
dan Bahan:
·
Daftar
buku obat/catatan, jadwal pemberian obat
·
Obat
dalam tempatnya
·
Spuit
insulin
·
Kapas
alkohol dalam tepatnya
·
Cairan
pelarut
·
Bak
injeksi
·
Bengkok
·
Perlak
dan alasnya
Prosedur Kerja
1.
Cuci
tangan.
2.
Jelaskan
prosedur yang akan dilakukan.
3.
Bebaskan
daerah yang akan dilakukan suntikan atau bebaskan suntikan dari pakaian.
Apabila menggunakan baju maka buka atau lipat ke atas.
4.
Ambil
obat dalam tempatnya sesuai dengan dosis yang akan diberikan, setelah itu
tempatkan pada bak injeksi.
5.
Desinfeksi
dengan kapas alkohol.
6.
Tegangkan
dengan tangan kiri (daerah yang akan dilakukan suntikan subkutan).
7.
Lakukan
penusukan dengan lubang menghadap ke atas dengan sudut 450 pada permukaan kulit.
8.
Lakukan
aspirasi, bila tidak ada darah semprotkan obat perlahan-lahan hingga habis.
9.
Tarik
spuit dan tahan dengan kapas alkohol. Masukan spuit yang telah terpakai ke
dalam bengkok.
10.
Catat
reaksi pemberian, tanggal, waktu pemberian, dan jenis/ dosis obat.
11.
Cuci
tangan.
Pemberian
Obat Intra Cutan (IC)
Merupakan pemberian obat melalui suntikan
ke dalam jaringan kulit dan biasanya digunakan untuk mengetahui sensitivitas
tubuh terhadap obat yang disuntikan, yang dilakukan pada lengan bawah bagian
dalam atau di tempat lain yang dianggap perlu.
Tujuan:
1.
Melaksanakan
uji coba obat tertentu, misalnya skin test, penicillin.
2.
Memberi
obat tertentu yang pemberiannya hanya dapat dilakukan dengan cara suntik
intrakutan.
3.
Membantu
menetukan diagnosis penyakit tertentu, misalnya tuberculin test.
4.
Mendapatkan
kekebalan pada imunisasi BCG.
Indikasi: dilakukan pada
pasien yang akan mendapatkan suntikan kekebalan atau menetukan reaksi dari obat
dan juga bisa dilakukan pada pasien yang tidak sadar, tidak mau bekerjasama
karena tidak memungkinkan untuk diberikan obat secara oral.
Kontra Indikasi: luka berbulu, alergi, dan
infeksi kulit.
Tempat Injeksi:
1. Lengan bawah bagian dalam.
2. Lengan atas.
3. Dada bagian atas.
4. Punggung di bawah skapula.
Persiapan Alat:
1. Catatan pemberian obat.
2. Spuit 1 ml dengan ukuran 25, 26, atau 27, panjang jarum 1/4-5/8 inci.
3. Sarung tangan bersih.
4. Kapas alkohol.
5. Obat sesusai dengan yang diperlukan.
6. Cairan pelarut (aquades,NaCl).
7. Bak spuit.
8. Baki obat.
9. Bengkok.
10. Perlak dan pengalas.
Prosedur
Kerja:
1. Siapkan obat (dengan prinsip 6 benar) dan peralatan yang akan digunakan.
2. Memberitahu dan menjelaskan tujuan
kepada klien.
3. Mendekatkan alat ke dekat klien.
4. Cuci tangan.
5. Jaga privasi klien.
6. Atur posisi pasien.
7. Pasang perlak dan pengalas pada daerah yang akan dilakukan injeksi.
8. Bebaskan daerah yang akan dilakukan injeksi dari pakaian.
9. Memakai sarung tangan.
10. Hisap obat ke dalam spuit.
11. Tentukan tempat penyuntikan dengan benar.
12. Desinfeksi area yang akan dilakukan penyuntikan dengan kapas alkohol area
penusuka secara melingkar ( sirkular ) dari dalam keluar, tunggu sampai kering.
13. Masukkan obat / lakukan
penyuntikan.
14. Letakkan spuit ke dalam bengkok.
15. Merapikan klien dan peralatan.
16. Cuci tangan.
17. Dokumentasikan prosedur pemberian obat atau tes alergi.
a.
Pemberian obat topikal pada kulit
Pemberian
obat secara topikal adalah memberikan obat secara lokal pada kulit.
Tujuan
pemberian obat secara topikal pada kulit adalah untuk memperoleh reaksi lokal
dari obat tersebut.
b.
Pemberian obat mata
Pemberian
obat melalui mata adalah memberi obat ke dalam mata berupa cairan dan salep.
Tujuan
Untuk
mengobati gangguan pada mata
untuk
mendilatasi pupil pada pemeriksaan struktur internal mata
Untuk
melemahkan otot lensa mata pada pengukuran refraksi mata
Untuk
mencegah kekeringan pada mata
c.
Pemberian obat tetes telinga
memberikan
obat pada telinga melalui kanal eksternal,dalam bentuk cair.
Tujuan
-Untuk
memberikan efek terapi lokal
-Menghilangkan
nyeri
-Untuk
melunakkan serumen agar mudah untuk di ambil
d.
Pemberian obat tetes hidung
Memberikan
obat tetes melalui hidung
Tujuan
-untuk
mengencerkan sekresi dan memfasilitasi drainase dari hidung
-Mengobati
infeksi dari rongga hidung dan sinus
BAB III
PENUTUP
3.1
Simpulan
Dalam menjalankan tugas, perawat harus menyadari akan
pentingnya farmakologi
dalam menjalankan tugasnya sebagai perawat profesional. Sehingga baik buruk dari efek obat bisa
diketahui maupun dipahami.
3.2
Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis meminta agar pembaca berkenan
memberikan kritik dan saran demi kesempurnaan dimasa mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar